BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah sesuatu yang mulia sebagai gerbang menuju
keridhaan
Allah SWT (ibtighaumardhatillah). Banyak orang yang sudah mampu menikah baik secara
lahir maupun batin namun tidak juga kunjung menikah dengan alasan masih ingin hidup
bebas sendiri (melajang). Lain lagi dengan orang yang sebenarnya belum mampu menikah
namun karena takut akan berbuat zina maka ia menyegerakan pernikahan dengan segala
konsekuensinya.
Terkait dengan masalah pernikahan Mushthafa Dibu al-Bugha, dalam kitabnya, at-Tadzhib fi Adillati Matni al-Ghayatiwa at-Taqrib, menyatakan bahwa nikah itu adalah sesuatu hal yang disenangi (mustahab) bagi mereka yang mengingingkannya sebagaimana teks arabnya yang berbunyi:
Terkait dengan masalah pernikahan Mushthafa Dibu al-Bugha, dalam kitabnya, at-Tadzhib fi Adillati Matni al-Ghayatiwa at-Taqrib, menyatakan bahwa nikah itu adalah sesuatu hal yang disenangi (mustahab) bagi mereka yang mengingingkannya sebagaimana teks arabnya yang berbunyi:
اَلنِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْه
Dari pernyataan di atas dapat difahami
bahwa nikah adalah hak bagi seseorang yang menginginkannya dan hal itu pun
disenangi oleh agama. Pemahaman lain yang dapat diambil adalah nikah pada dasarnya
bukanlah suatu kewajiban, namun dalam kapasitas manusia sebagai makhluk tuhan
yang diciptakan berdasarkan fitrah (insting kemanusian) maka pada suatu saat
manusia pasti akan merasa membutuhkan pasangan hidup. Gejolak hati, gairah birahi
mungkin saja membuat manusia melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan
agama yang benar demi melampiaskan (memenuhi) hasrat seksualnya (his sexual
desire). Dalam konteks ini, wajar jika kemudian nikah menjadi wajib bagi manusia
untuk menyelamatkannya dari lembah kenistaan (zina) dengan syarat dia (akan)
mampu memenuhi kebutuhan pasangannya (istri).
Berdasarkan ijma’ ulama akad pernikahan
adalah salah satu dari akad syar’i (hukum) yang disunnahkan sebagimana asalnya.
Perlu difahami bahwa pernikahan itu sendiri bukanlah sebatas ikrar yang berupa ijab
dan qabul (serah terima) melainkan jauh dari itu adalah sebagai wasilah
(dzari’ah) demi terjaganya kehormatan seseorang dan terciptanya keluarga
yang bahagia, harmonis, dan sejahtera tentunya. Dalam rangka mewujudkan hal itu
tentu tidak terlepas dari pemenuhan nafkah suami kepada istrinya baik nafkah lahir
maupun batin. Hal ini yang terkadang dipandang sebelah mata, mereka yang
menikah tidak berfikir secara mendalam bahwa pasca pernikahan ada kewajiban
(hak istri atas suami) yang wajib ditunaikan berdasarkan syarat-syarat tertentu
yang telah ditetapkan dalam al-Quran, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas serta dalil hukum
lainnya
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah teks dan terjemah
hadis?
2.
Bagaimanakah takhrij dan kualitas
hadis?
3.
Bagaimanakah metode jarh wa ta’dil?
4.
Bagaimanakah hadis pendukungnya?
5.
Bagaimanakah makna mufrodatnya?
6.
Bagaimanakah analisis kebahasaan dan
usul fiqhnya?
7.
Bagaimanakah kandungan hukum dan
metode istimbatnya?
8.
Bagaimanakah hikmah yang terkandung
dalam hadis tersebut?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui teks dan terjemah
hadis.
2.
Untuk mengetahui takhrij dan
kualitas hadis.
3.
Untuk mengetahui metode jarh wa
ta’dil.
4.
Untuk mengetahui hadis pendukungnya.
5.
Untuk mengetahui makna mufrodatnya.
6.
Untuk mengetahui analisis kebahasaan
dan usul fiqhnya.
7.
Untuk mengetahui kandungan hukum dan
metode istimbatnya.
8.
Untuk mengetahui hikmah yang
terkandung dalam hadis tersebut.
BAB II
PEMBAHSAN
1.
Hadis Pertama
A.
Teks dan
Terjemah Hadis
حدثنا
أبوبكربن ابى شيبة وابوقريب قالاحدثنا ابومعاويةح وحدثنى ابوسعيدالأشج حدثناوكيع ح
وحدثنى زهيربن حرب واللفظ حدثنا جريركلهم عن الأعمش عن ابى حازم عن ابى هريرةقال
قال رسول ا لله صلى الله عليه وسلم قال إذادعاالرجل إمرأته إلى فراشه فأبت أن تجئ
لعنتها الملا ئكةحتى تصبح
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang suami mengajak istrinya ke
tempat tidur, tapi ia enggan dan menolak untuk datang, maka para malaikat
melaknatnya (sang istri) hingga datang pagi."
B. Takhrij dan Kualitas Hadis
Setelah kami melakukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan hadis ini,
bahwasanya hadis ini sanadnya bersambung dan sampai kepada Nabi sehingga disebut dengan hadis marfu’
dan juga memenuhi syarat-syarat hadis shahih.
Metode Jarh Wa Ta’dil
1. Abu Bakar
bin AbiSyaibah
·
Ahmad bin Hambal: Shoduq
·
Yahya bin Mu’ayyin: Shoduq
2. Abu Quraib
·
Annasa’i: Tsiqah
·
Abu KhatmanLirazi: Shoduq
3. Abu
Mu’awiyyah
·
Annasa’i: Tsiqahfila’masy
·
Li’ajlih: Tsiqah
4. Abu Sa’id
al-Asajju
·
Yahya bin Mu’ayyin: Laisabihiba’sa
·
Annasa’i: Shoduq
5. Waqi’
·
Annasa’i: Tsiqah min khifdzilhadis
6. Zuhair bin
Kharb
·
Yahya bin Mu’ayyin: Tsiqah
7. Jarir
·
Annasa’i: Tsiqah
8. A’masy
·
Annasa’i: Tsiqahtsabit
9. Abu Khazam
Table Daftar Takhrij Hadits
Kitab
|
Bab
|
No
Hadits
|
Shahih Bukhori
|
بدء لخلق
|
2998
|
Sunan Abu Dawud
|
Nikah
|
1829
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
7159
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
8224
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
8652
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
9294
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
9664
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
9835
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
10313
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لمكثرين
|
10524
|
Sunan ad-Darimi
|
Nikah
|
2131
|
C. Hadits Pendukung
Dalam riwayat Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim yang dikutip dari
Imam Muslim disebutkan:
وَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُوْا
إِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْ بًى عَلَيْهِ إِلاَّكَانَا الَّذِي فِي
السَّمَاءِ سَاخِطًاعَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang laki-laki
pun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istrinya menolaknya
melainkan yang berada di langit murka atasnya hingga suaminya ridha terhadapnya,
ثَلَا
ثَةٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلَاةٌ وَلاَيَصْعَدُ لَهُمْ اِلَى السَّمَاءِ حَسَنَةٌ
: الْعَبْدُالاَبِقُ حَتَى يَرْجِعَ وَالسَّكْرَانُ حَتَّى يَصْحُوَ وَالْمَرْأَةُ
السَّخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا
Tiga golongan tidak diterima sholat mereka dan tidak akan naik ke
langit kebaikan mereka; yaitu budak yang melarikan diri hingga kembali, orang
mabuk hingga ia sadar, wanita yang dimarahi suaminya hingga suaminya ridha. [2]
D. Makna Mufrodat
إلى فراشه : tempat untuk
menjima’
فأبت : istri menolak melayani suami tanpa adanya udzur
فبا ت : tidur pada malam hari
تصبح : menurut sebagian hadis yang ada di bukhori mempunyai makna
hingga kembali
E.
Analisis kebahasaan dan Ushul Fiqh
Dalam hadits ini sifatnya adalah khabariyah yaitu sebuah hadits
yang hanya memeberitakan, dan dalam lafadz-lafadz hadits ini semuanya
menggunakan makna yang hakiki bukan lafadz yang majazi. Akan tetapi dalam
hadits ini pun mengandung hukum taklifi yang berupa wajib dalam lafadz “ أن تجئ” yang dimaksudkan disini adalah mendatangi
suami, dan yang dimaksudkan dengan “فأبت ” (bangkang) yakni menolak untuk berhubungan badan
dengan suaminya, namun sifat wajib disini ada batasan waktu atau berupa مؤقت او مقيّدdalam
artian batasan waktu disini adalah ketika ada udzur syar’i yang tidak
memperbolehkan suami dan istri itu untuk berhubungan badan. Uzur syar’i yang
dimaksud disini ialah semisal istri dalam keadaan sakit atau istri merasa
kesakitan karena suami melakukan hubungan badan yang tidak wajar. Tidak wajar
disini maksudnya suami menyiksa istrinya dulu sebelum melakukan hubungan badan
yang hal tersebut menyebabkan istri kesakitan. Dan hadis ini mengandung makna hakiki yang
terdapat dalam lafadz الرجل yang mengandung makna
sudah jelas bahwa laki-laki yang meminta kepada perempuan, dan pada hadis ini
tidak bisa dikenakan pada perempuan apabila meminta kepada laki-laki.
F.
Kandungan Hukum dan Metode Istimbatnya
إذادعاالرجلإمرأتهإلىفراشه(apabila seorang laki-laki memanggil
istrinya ke tempat tidurnya). Menurut Ibnu Abu Jamrah, secara zhahir
“tempat tidur” disini merupakan kiasan perbuatan jima’. Hal ini didukung oleh
sabdanya, الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ
(anak untuk pemilik tempat tidur {suami yang sah}), yakni untuk mereka yang
melakukan hubungan intim di tempat tidur. Penggunaan kata kiasan terhadap hal-hal yang tabu untuk
disebutkan sangat banyak dalam al-Qur’an dan Sunnah.” Dia berkata pula,” makna
dzahir hadis adalah pengkhususan laknat kepada mereka yang melakukan hal itu
semalaman berdasarkan perkataanya”hingga subuh”. Seakan-akan rahasianya adalah
penekanan bagi hal itu diwaktu malam dan kuatnya dorongan kepadanya. Namun,
tidak berarti istri boleh menolak disiang hari. Hanya saja malam disebutkan
secara khusus, karena ia merupakan waktu dimana banyak terjadi perbuatan
tersebut.
فَأَبَتَ أَنْ
تَجِئَ (ia enggan dan menolak untuk datang). Abu Awanah menambahkan dari al-A’masy
seperti disebutkan pada pembahasan tentang awal mula penciptaan, فَبَاتَغَضْبَانَعَلَيْهَا (lalu ia melewati
malam dalam keadaan marah terhadap istrinya). Dari sini diketahui alasan
terjadinya laknat, karena pada saat seperti ini jelas bahwa dia telah melakukan
kemaksiatan. Berbeda apabila suaminya tidak marah atas perbuatan itu, maka
mungkin suaminya telah memaafkanya atau mungkin juga ia meninggalkan haknya.
Mengenai perkataanya dalam riwayat Zurarah,”apabila seorang wanita melewati
waktu malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya”, maka ini tidak dipahami
secara zhahirnya. Bahkan yang dimaksud istrinya yang meninggalkan, terkadang
maksud kata yang mengacu pada pola mafa’alah (makna timbal balik) adalah
perbuatan itu sendiri, karena tidak tepat celaan dialamatkan kepada istri jika
suami yang memulai meninggalkan, lalu suami memarahinya karena hal itu, atau
suaminya meninggalkan sementara istri dalam keadaan zalim dan belum menyadari
dosanya, sehingga ia pun meninggalkanya.
Adapun jika suami yang memulai meninggalkan istrinya dalam keadaan zhalim terhadap istrinya maka tidak berlaku ancaman.لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ (malaikat melaknatnya hingga subuh). Dalam
riwayat zurarah disebutkan,”hingga kembali”. Versi pertama dipahami dalam
koteks yang umum seperti terdahulu. Ath-Thabarani mengutip dari hadis Ibnu Umar
dan dinisbatkan kepada nabi SAW, إِثْنَانِ لاَتُجَاوِزُ
صَلَا تُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ اَبِقٌ وَامْرَأَةٌ غَضِبَ
زَوْجُهَا حَتَّى تَرْجِعَ (Dua golongan
yang sholat keduanya tidak melewati kepada mereka; hamba yang melarikan diri,
wanita yang suaminya marah hingga ia kembali). Hadis ini dinyatakan shahih
oleh al-hakim. Al muthalab berkata: hadis ini menunjukan bahwa menghalangi
hak-hak pada badan atau harta termasuk perkara yang mendatangkan kemarahan
Allah, kecuali bila dia melimpahkan ampunan-Nya. Di dalam terdapat pembolehan
laknat bagi orang yang maksiat dan muslim dengan maksud menakut-nakutinya agar
tidak terjurumus dalam perbuatan itu. Ibnu Hajar mengatakan bahwa pembatasan
ini tidak disimpulkan dari hadis secara langsung bahkan diambil dari
dalil-dalil lain.
Pada hadis ini dikatakan bahwa malaikat mendoakan kecelakaan bagi
pelaku maksiat selama mereka berada dalam kemaksiatanya. Ini menunjukan mereka
juga mendoakan kebaikan bagi pelaku ketaatan selama mereka berada dalam
ketaatan. Ibnu Abu Jamrah berkata”apakah malaikat yang melaknatnya adalah para
pemelihara atau selain mereka? Ada dua kemungkinan. “saya berkata, kemungkinan
ada sebagian malaikat yang ditugaskan khusus untuk itu, kemungkinan ini diindikasikan
pernyataan umum dalam riwayat muslim, yaitu kalimat,” yang berada di langit”,
jika yang dimaksudkan adalah penghuninya.
Dia berkata pula,”disini terdapat dalil tentang diterimanya doa
malaikat, baik berupa kabaikan atau keburukan, karena Nabi SAW menakuti dengan
hal itu. Di dalamnya terdapat juga petunjuk bagi istri agar membantu suami dan
mencari keridhaanya. Disebutkan pula bahwa kesabaran seorang laki-laki
meningglakan jima’lebih lemah dibanding kesabaran wanita.”dia
berkata,”didalamnya disebutkan bahwa perkara yang banyak mengganggu seseorang
adalah dorongan untuk menikah. Oleh karena itu syariat menganjurkan kepada
wanita untuk memberikan bantuan kepada laki-laki dalam hal itu.” Atau
penyebabnya adalah motivasi untuk mendapatkan keturunan. [4]
G.
Hikmah
Ø Wajib seorang
istri taat kepada suaminya kecuali dalam hal yang mengandung maksiat
Ø Murka Allah itu
akan terus menerus kepada istri tersebut sampai dia mendapat ridha dari
suaminya.
Hadits Kedua
A.
Teks dan Terjemah Hadits
حدثناعلي بن حجر السعرى حدثنا علي بن مسهر عن هشام عروة
عن أبيه عن عائشة قالت دخلتهِنْدُبِنْتُعُتْبَةَ -اِمْرَأَةُأَبِيسُفْيَانَ- عَلَىرَسُولِاَللَّهِصلىاللهعليهوسلم
. فَقَالَتْ: يَارَسُولَاَللَّهِ! إِنَّأَبَاسُفْيَانَرَجُلٌشَحِيحٌلَايُعْطِينِيمِنْاَلنَّفَقَةِمَايَكْفِينِيوَيَكْفِيبَنِيَّ,
إِلَّامَاأَخَذْتُمِنْمَالِهِبِغَيْرِعِلْمِهِ
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Ia tidak memberi ku nafkah yang cukup untuk ku dan anak-anak ku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.
B.
Takhrij dan Kualitas Hadis
Setelah kami melakukan penelitian terkait hadis kedua tersebut
dalam aplikasi hadis, hadis ini termasuk hadis marfu’dan juga memenuhi
kriteria hadis shahih.
Metode Jarh Wa Ta’dil
1. Ali bin
Hujri al-Sa’diyyi
·
Al-hakim: Tsiqah
·
Annasa’i: Tsiqah
2. Ali bin Mushir
·
Yahya bin Mu’ayyin: Tsiqah
·
Abu Zar’ahlirozi: ShoduqTsiqah
3. Hisyam bin
‘Urwah
·
Ya’qub bin Syaibah: TsiqahTsabit
4. ‘Urwah
·
Lia’jlih: Tsiqah[5]
Table Daftar Takhrij Hadits
Kitab
|
Bab
|
No
Hadits
|
Shahih Bukhori
|
Jual-beli
|
2059
|
Shahih Bukhori
|
لمظلم ولغصب
|
2280
|
Shahih Bukhori
|
Nafkah
|
4940
|
Shahih Bukhori
|
Nafkah
|
4945
|
Shahih Bukhori
|
Nafkah
|
4951
|
Shahih Bukhori
|
لأيمن ولنذور
|
6150
|
Shahih Bukhori
|
لأحكم
|
6628
|
Shahih Bukhori
|
لأحكم
|
6644
|
Sunan an-Nasa’i
|
أدب القضة
|
5325
|
Sunan Abu Dawud
|
Jual-beli
|
3065
|
Sunan Abu Dawud
|
Jual-beli
|
3066
|
Sunan Ibnu Majah
|
لتجرت
|
2284
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لأنصر
|
22988
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لأنصر
|
23098
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لأنصر
|
24531
|
Musnad Ahmad bin Hanbal
|
بقي مسند لأنصر
|
24801
|
Sunan ad-Darimi
|
Nikah
|
2159
|
C. Hadis-hadisPendukung
وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ:
قَالَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلم ( لِلْمَمْلُوكِطَعَامُهُوَكِسْوَتُهُ, وَلَايُكَلَّفُمِنْاَلْعَمَلِإِلَّامَايُطِيقُ
) رَوَاهُمُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hamba yang dimiliki wajib diberi makan dan pakaian, dan tidak dibebani pekerjaan kecuali yang ia mampu." Riwayat Muslim.
وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ:
( جَاءَرَجُلٌإِلَىاَلنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمفَقَالَ: يَارَسُولَاَللَّهِ! عِنْدِيدِينَارٌ?
قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىنَفْسِكَقَالَ: عِنْدِيآخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىوَلَدِكَقَالَ:
عِنْدِيآخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىأَهْلِكَقَالَ: عِنْدِيآخَرُ, قَالَ: أَنْفِقُهُعَلَىخَادِمِكَقَالَعِنْدِيآخَرُ,
قَالَ: أَنْتَأَعْلَمَ ) أَخْرَجَهُاَلشَّافِعِيُّوَاللَّفْظُلَهُ,
وَأَبُودَاوُدَ, وَأَخْرَجَهُالنَّسَائِيُّوَالْحَاكِمُبِتَقْدِيمِاَلزَّوْجَةِعَلَىاَلْوَلَدِ
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang
kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku
mempunyai satu dinar?. Beliau bersabda: "Nafkahilah dirimu sendiri."
Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi
anakmu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda:
"Nafkahi istrimu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau
bersabda: "Nafkahi pembantumu." Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu
dinar lagi. Beliau bersabda: "Engkau lebih tahu (siapa yang harus diberi
nafkah)." Riwayat Syafi'i dan Abu Dawud dengan lafadz menurut Abu Dawud.
Nasa'i dan Hakim juga meriwayatkan dengan mendahulukan istri daripada anak.[6]
D. Makna Mufradat
هند بنت عتبة : Disini yang
dimaksud ialah hindun binti utbah binti rabi’ah. Sedangkan umayah nama aslinya adalah sharkh
bin hareb umayah bin abdi syams bin abdi manaf.
شحيح : pelit artinya bakhil lagi tamak. Kata ini lebih umum daripada kata
bakhil. Karena bakhil hanya berarti pelarangan menggunakan harta, sedangkan
syahieh lebih umum yaitu mencegah penggunaan segala sesuatu dalam semua
keadaan. Demikian tersebut dalam kitab al-fath.
بالمعروف : menurut al qurtubi yang dimaksud dengan cara yang baik ialah ukuran
yang sudah diketahui menurut adat, yaitu cukup.
E.
Analisis Kebahasaan dan Ushul Fiqh
Dalam hadits kedua ini mengandung lafadz yang mutlak yaitu “ حذي ” yakni tidak ada batasan untuk mengambil
barang dari suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya. Akan tetapi lafadz
ini kemudian dibatasi (muqayyadkan) dengan lafadz setelahnya yaitu “ مايكفيك ” yakni kebolehan mengambil barang suami itu
hanya sebatas untuk kebutuhan dia (istri) dan juga kebutuhan anan-anaknya saja.
F.
Kandungan Hukum dan Metode Istimbatnya
Hadits ini menunjukkan atas
kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya. Pendapat semacam ini telah disepakati
oleh para Ulama, sebagaimana diterangkan dimuka. Disamping itu, ayah juga wajib
memberikan nafkah kepada anaknya. Dan bagi seseorang yang berhak memperoleh nafkah
secara syara’ dari seseorang yang lain, boleh mengambil harta orang lain itu untuk
memenuhi kebutuhanya asal tidak berlebihan, kalau memang orang lain itu tidak mau
melaksanakan kewajibannya dan terus-menerus berada dalam kealpaannya.
Dalam hal kewajiban
ayah memberikan nafkah kepada anak ini, tidak ada perbedaan apakah anak itu masih
kecil atau sudah besar. Konon di antara anak-anak Hindu ada yang sudah mukallaf
seperti Mu’awwiyah yang masuk islam pada saat penaklukan kota Mekkah dan
pada waktu itu dia berusia 18 tahun. Berdasarkan keterangan ini, Mu’awwiyah sudah
mukallaf sejak sebelum Nabi SAW. Hijrah ke Madinah, padahal pertanyaan Hindun ini
diajukan pada tahun penaklukan kota Mekkah.
Sementara itu, Ulama pengikut
madzhab Syafi’i mengajukan syarat :masih kecil atau sudah renta. Begitu pula
yang diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Jumhur Ulama. Hadits tersebut menolak pendapat
mereka. Ada pula Ulama yang menanggapi penggunaan hadits ini sebagai dalil atas
kewajiban memberikan nafkah kepada anak, dengan mengatakan :Itu hanyalah kejadian
perorangan, tidak bias digunakan secara umum.Pendapat ini tidak benar, karena
sasaran pembicaraan kepada seseorang itu sama dengan sasaran kepada orang
banyak, sebagaimana telah ditetapkan dalam Kitab Ushul.
Dalam suatu riwayat Bukhori dan Muslim,
disebutkan : “… apa yang mencukupi dirimu dan mencukupi anakmu”. Riwayat ini juga ditanggapi bahwa itu bisa dikategorikan sebagai fatwa dan bukan ketetapan hukum. Tanggapan ini pun keliru, sebab Rasululloh
saw. Tidaklah memberikan fatwa
kecuali dengan benar (haq).
Hadits di atas juga digunakan pula sebagai dalil bahwa ukuran nafkah istri adalah dengan
“kecukupan”. Dengan demikian yang dikatakan oleh mayoritas Ulama.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah diukur dengan takaran
mud
(1 mud = 6 ons). Orang yang kaya, setiap hari harus
memberikan nafkah sebanyak 2 mud. Orang yang sedang memberikan nafkah 1 mud. Dan
orang yang melarat, 1 mud. Pendapat semacam ini juga diriwayatkan dari Imam
Malik.
[1] Aplikasi Hadis
[2] Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Mahrom, (Jakarta:
Pustaka Azzam),.
[3] Kitab Hadis Ahkam
[4] Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Baari, Juz.25 (Jak-Sel: Pustaka
Azzam), 658.
[5] Aplikasi al Hadis
[6] Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Mahrom, (Jakarta: Pustaka
Azzam),.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar