Rabu, 03 April 2013

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan adalah sesuatu yang mulia sebagai gerbang menuju keridhaan Allah SWT (ibtighaumardhatillah). Banyak orang yang sudah mampu menikah baik secara lahir maupun batin namun tidak juga kunjung menikah dengan alasan masih ingin hidup bebas sendiri (melajang). Lain lagi dengan orang yang sebenarnya belum mampu menikah namun karena takut akan berbuat zina maka ia menyegerakan pernikahan dengan segala konsekuensinya.
Terkait dengan masalah pernikahan Mushthafa Dibu al-Bugha, dalam kitabnya, at-Tadzhib fi Adillati Matni al-Ghayatiwa at-Taqrib, menyatakan bahwa nikah itu adalah sesuatu hal yang disenangi (mustahab) bagi mereka yang mengingingkannya sebagaimana teks arabnya yang berbunyi:
Dari pernyataan di atas dapat difahami bahwa nikah adalah hak bagi seseorang yang menginginkannya dan hal itu pun disenangi oleh agama. Pemahaman lain yang dapat diambil adalah nikah pada dasarnya bukanlah suatu kewajiban, namun dalam kapasitas manusia sebagai makhluk tuhan yang diciptakan berdasarkan fitrah (insting kemanusian) maka pada suatu saat manusia pasti akan merasa membutuhkan pasangan hidup. Gejolak hati, gairah birahi mungkin saja membuat manusia melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan agama yang benar demi melampiaskan (memenuhi) hasrat seksualnya (his sexual desire). Dalam konteks ini, wajar jika kemudian nikah menjadi wajib bagi manusia untuk menyelamatkannya dari lembah kenistaan (zina) dengan syarat dia (akan) mampu memenuhi kebutuhan pasangannya (istri).
Berdasarkan ijma’ ulama akad pernikahan adalah salah satu dari akad syar’i (hukum) yang disunnahkan sebagimana asalnya. Perlu difahami bahwa pernikahan itu sendiri bukanlah sebatas ikrar yang berupa ijab dan qabul (serah terima) melainkan jauh dari itu adalah sebagai wasilah (dzari’ah) demi terjaganya kehormatan seseorang dan terciptanya keluarga yang bahagia, harmonis, dan sejahtera tentunya. Dalam rangka mewujudkan hal itu tentu tidak terlepas dari pemenuhan nafkah suami kepada istrinya baik nafkah lahir maupun batin. Hal ini yang terkadang dipandang sebelah mata, mereka yang menikah tidak berfikir secara mendalam bahwa pasca pernikahan ada kewajiban (hak istri atas suami) yang wajib ditunaikan berdasarkan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Quran, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas serta dalil hukum lainnya
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah teks dan terjemah hadis?
2.      Bagaimanakah takhrij dan kualitas hadis?
3.      Bagaimanakah metode jarh wa ta’dil?
4.      Bagaimanakah hadis pendukungnya?
5.      Bagaimanakah makna mufrodatnya?
6.      Bagaimanakah analisis kebahasaan dan usul fiqhnya?
7.      Bagaimanakah kandungan hukum dan metode istimbatnya?
8.      Bagaimanakah hikmah yang terkandung dalam hadis tersebut?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui teks dan terjemah hadis.
2.      Untuk mengetahui takhrij dan kualitas hadis.
3.      Untuk mengetahui metode jarh wa ta’dil.
4.      Untuk mengetahui hadis pendukungnya.
5.      Untuk mengetahui makna mufrodatnya.
6.      Untuk mengetahui analisis kebahasaan dan usul fiqhnya.
7.      Untuk mengetahui kandungan hukum dan metode istimbatnya.
8.      Untuk mengetahui hikmah yang terkandung dalam hadis tersebut.



BAB II
PEMBAHSAN
1.      Hadis Pertama
A.     Teks dan Terjemah Hadis
حدثنا أبوبكربن ابى شيبة وابوقريب قالاحدثنا ابومعاويةح وحدثنى ابوسعيدالأشج حدثناوكيع ح وحدثنى زهيربن حرب واللفظ حدثنا جريركلهم عن الأعمش عن ابى حازم عن ابى هريرةقال قال رسول ا لله صلى الله عليه وسلم قال إذادعاالرجل إمرأته إلى فراشه فأبت أن تجئ لعنتها الملا ئكةحتى تصبح
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, tapi ia enggan dan menolak untuk datang, maka para malaikat melaknatnya (sang istri) hingga datang pagi."
B.     Takhrij dan Kualitas Hadis
Setelah kami melakukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan hadis ini, bahwasanya hadis ini sanadnya bersambung dan sampai kepada Nabi sehingga disebut dengan hadis marfu’ dan juga memenuhi syarat-syarat hadis shahih.

Metode Jarh Wa Ta’dil
1.      Abu Bakar bin AbiSyaibah
·         Ahmad bin Hambal: Shoduq
·         Yahya bin Mu’ayyin: Shoduq
2.      Abu Quraib
·           Annasa’i: Tsiqah
·           Abu KhatmanLirazi: Shoduq
3.      Abu Mu’awiyyah
·           Annasa’i: Tsiqahfila’masy
·           Li’ajlih: Tsiqah
4.      Abu Sa’id al-Asajju
·           Yahya bin Mu’ayyin: Laisabihiba’sa
·           Annasa’i: Shoduq
5.      Waqi’
·           Annasa’i: Tsiqah min khifdzilhadis
6.      Zuhair bin Kharb
·         Yahya bin Mu’ayyin: Tsiqah
7.      Jarir
·         Annasa’i: Tsiqah
8.      A’masy
·         Annasa’i: Tsiqahtsabit
9.      Abu Khazam
·           Yahya bin Mua’yyin: Tsiqah.[1]

Table Daftar Takhrij Hadits
Kitab
Bab
No Hadits
Shahih Bukhori
بدء لخلق
2998
Sunan Abu Dawud
Nikah
1829
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
7159
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
8224
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
8652
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
9294
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
9664
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
9835
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
10313
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لمكثرين
10524
Sunan ad-Darimi
Nikah
2131

C.    Hadits Pendukung
Dalam riwayat Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim yang dikutip dari Imam Muslim disebutkan:
وَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُوْا إِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْ بًى عَلَيْهِ إِلاَّكَانَا الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًاعَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang laki-laki pun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istrinya menolaknya melainkan yang berada di langit murka atasnya hingga suaminya ridha terhadapnya,
ثَلَا ثَةٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلَاةٌ وَلاَيَصْعَدُ لَهُمْ اِلَى السَّمَاءِ حَسَنَةٌ : الْعَبْدُالاَبِقُ حَتَى يَرْجِعَ وَالسَّكْرَانُ حَتَّى يَصْحُوَ وَالْمَرْأَةُ السَّخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا
Tiga golongan tidak diterima sholat mereka dan tidak akan naik ke langit kebaikan mereka; yaitu budak yang melarikan diri hingga kembali, orang mabuk hingga ia sadar, wanita yang dimarahi suaminya hingga suaminya ridha. [2]


D.    Makna Mufrodat
إلى فراشه           : tempat untuk menjima’
فأبت                  : istri menolak melayani suami tanpa adanya udzur
فبا ت                 : tidur pada malam hari
تصبح               : menurut sebagian hadis yang ada di bukhori mempunyai makna hingga  kembali
سا خطا               : marah atau murka.[3]
E.     Analisis kebahasaan dan Ushul Fiqh
Dalam hadits ini sifatnya adalah khabariyah yaitu sebuah hadits yang hanya memeberitakan, dan dalam lafadz-lafadz hadits ini semuanya menggunakan makna yang hakiki bukan lafadz yang majazi. Akan tetapi dalam hadits ini pun mengandung hukum taklifi yang berupa wajib dalam lafadz  أن تجئ” yang dimaksudkan disini adalah mendatangi suami, dan yang dimaksudkan dengan “فأبت ” (bangkang) yakni menolak untuk berhubungan badan dengan suaminya, namun sifat wajib disini ada batasan waktu atau berupa مؤقت او  مقيّدdalam artian batasan waktu disini adalah ketika ada udzur syar’i yang tidak memperbolehkan suami dan istri itu untuk berhubungan badan. Uzur syar’i yang dimaksud disini ialah semisal istri dalam keadaan sakit atau istri merasa kesakitan karena suami melakukan hubungan badan yang tidak wajar. Tidak wajar disini maksudnya suami menyiksa istrinya dulu sebelum melakukan hubungan badan yang hal tersebut menyebabkan istri kesakitan.  Dan hadis ini mengandung makna hakiki yang terdapat dalam lafadz الرجل  yang mengandung makna sudah jelas bahwa laki-laki yang meminta kepada perempuan, dan pada hadis ini tidak bisa dikenakan pada perempuan apabila meminta kepada laki-laki.
F.     Kandungan Hukum dan Metode Istimbatnya
إذادعاالرجلإمرأتهإلىفراشه(apabila seorang laki-laki memanggil istrinya ke tempat tidurnya). Menurut Ibnu Abu Jamrah, secara zhahir “tempat tidur” disini merupakan kiasan perbuatan jima’. Hal ini didukung oleh sabdanya, الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ (anak untuk pemilik tempat tidur {suami yang sah}), yakni untuk mereka yang melakukan hubungan intim di tempat tidur. Penggunaan kata kiasan terhadap hal-hal yang tabu untuk disebutkan sangat banyak dalam al-Qur’an dan Sunnah.” Dia berkata pula,” makna dzahir hadis adalah pengkhususan laknat kepada mereka yang melakukan hal itu semalaman berdasarkan perkataanya”hingga subuh”. Seakan-akan rahasianya adalah penekanan bagi hal itu diwaktu malam dan kuatnya dorongan kepadanya. Namun, tidak berarti istri boleh menolak disiang hari. Hanya saja malam disebutkan secara khusus, karena ia merupakan waktu dimana banyak terjadi perbuatan tersebut.
 فَأَبَتَ أَنْ تَجِئَ (ia enggan dan menolak untuk datang). Abu Awanah menambahkan dari al-A’masy seperti disebutkan pada pembahasan tentang awal mula penciptaan, فَبَاتَغَضْبَانَعَلَيْهَا (lalu ia melewati malam dalam keadaan marah terhadap istrinya). Dari sini diketahui alasan terjadinya laknat, karena pada saat seperti ini jelas bahwa dia telah melakukan kemaksiatan. Berbeda apabila suaminya tidak marah atas perbuatan itu, maka mungkin suaminya telah memaafkanya atau mungkin juga ia meninggalkan haknya. Mengenai perkataanya dalam riwayat Zurarah,”apabila seorang wanita melewati waktu malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya”, maka ini tidak dipahami secara zhahirnya. Bahkan yang dimaksud istrinya yang meninggalkan, terkadang maksud kata yang mengacu pada pola mafa’alah (makna timbal balik) adalah perbuatan itu sendiri, karena tidak tepat celaan dialamatkan kepada istri jika suami yang memulai meninggalkan, lalu suami memarahinya karena hal itu, atau suaminya meninggalkan sementara istri dalam keadaan zalim dan belum menyadari dosanya, sehingga ia pun meninggalkanya. Adapun jika suami yang memulai meninggalkan istrinya dalam keadaan zhalim terhadap istrinya maka tidak berlaku ancaman.لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (malaikat melaknatnya hingga subuh). Dalam riwayat zurarah disebutkan,”hingga kembali”. Versi pertama dipahami dalam koteks yang umum seperti terdahulu. Ath-Thabarani mengutip dari hadis Ibnu Umar dan dinisbatkan kepada nabi SAW, إِثْنَانِ لاَتُجَاوِزُ صَلَا  تُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ اَبِقٌ وَامْرَأَةٌ غَضِبَ زَوْجُهَا حَتَّى تَرْجِعَ (Dua golongan yang sholat keduanya tidak melewati kepada mereka; hamba yang melarikan diri, wanita yang suaminya marah hingga ia kembali). Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-hakim. Al muthalab berkata: hadis ini menunjukan bahwa menghalangi hak-hak pada badan atau harta termasuk perkara yang mendatangkan kemarahan Allah, kecuali bila dia melimpahkan ampunan-Nya. Di dalam terdapat pembolehan laknat bagi orang yang maksiat dan muslim dengan maksud menakut-nakutinya agar tidak terjurumus dalam perbuatan itu. Ibnu Hajar mengatakan bahwa pembatasan ini tidak disimpulkan dari hadis secara langsung bahkan diambil dari dalil-dalil lain.
Pada hadis ini dikatakan bahwa malaikat mendoakan kecelakaan bagi pelaku maksiat selama mereka berada dalam kemaksiatanya. Ini menunjukan mereka juga mendoakan kebaikan bagi pelaku ketaatan selama mereka berada dalam ketaatan. Ibnu Abu Jamrah berkata”apakah malaikat yang melaknatnya adalah para pemelihara atau selain mereka? Ada dua kemungkinan. “saya berkata, kemungkinan ada sebagian malaikat yang ditugaskan khusus untuk itu, kemungkinan ini diindikasikan pernyataan umum dalam riwayat muslim, yaitu kalimat,” yang berada di langit”, jika yang dimaksudkan adalah penghuninya.
Dia berkata pula,”disini terdapat dalil tentang diterimanya doa malaikat, baik berupa kabaikan atau keburukan, karena Nabi SAW menakuti dengan hal itu. Di dalamnya terdapat juga petunjuk bagi istri agar membantu suami dan mencari keridhaanya. Disebutkan pula bahwa kesabaran seorang laki-laki meningglakan jima’lebih lemah dibanding kesabaran wanita.”dia berkata,”didalamnya disebutkan bahwa perkara yang banyak mengganggu seseorang adalah dorongan untuk menikah. Oleh karena itu syariat menganjurkan kepada wanita untuk memberikan bantuan kepada laki-laki dalam hal itu.” Atau penyebabnya adalah motivasi untuk mendapatkan keturunan.  [4]

G.    Hikmah
Ø  Wajib seorang istri taat kepada suaminya kecuali dalam hal yang mengandung maksiat
Ø  Murka Allah itu akan terus menerus kepada istri tersebut sampai dia mendapat ridha dari suaminya.

Hadits Kedua
A.    Teks dan Terjemah Hadits
حدثناعلي بن حجر السعرى حدثنا علي بن مسهر عن هشام عروة عن أبيه عن عائشة قالت دخلتهِنْدُبِنْتُعُتْبَةَ -اِمْرَأَةُأَبِيسُفْيَانَ- عَلَىرَسُولِاَللَّهِصلىاللهعليهوسلم . فَقَالَتْ: يَارَسُولَاَللَّهِ! إِنَّأَبَاسُفْيَانَرَجُلٌشَحِيحٌلَايُعْطِينِيمِنْاَلنَّفَقَةِمَايَكْفِينِيوَيَكْفِيبَنِيَّ, إِلَّامَاأَخَذْتُمِنْمَالِهِبِغَيْرِعِلْمِهِ
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Ia tidak memberi ku nafkah yang cukup untuk ku dan anak-anak ku kecuali aku mengambil dari hartanya  tanpa  sepengetahuannya.
B.     Takhrij dan Kualitas Hadis
Setelah kami melakukan penelitian terkait hadis kedua tersebut dalam aplikasi hadis, hadis ini termasuk hadis marfu’dan juga  memenuhi kriteria hadis shahih.
Metode Jarh Wa Ta’dil
1.      Ali bin Hujri al-Sa’diyyi
·         Al-hakim: Tsiqah
·         Annasa’i: Tsiqah
2.      Ali bin Mushir
·         Yahya bin Mu’ayyin: Tsiqah
·         Abu Zar’ahlirozi: ShoduqTsiqah
3.      Hisyam bin ‘Urwah
·         Ya’qub bin Syaibah: TsiqahTsabit
4.      ‘Urwah
·         Lia’jlih: Tsiqah[5]


Table  Daftar Takhrij Hadits
Kitab
Bab
No Hadits
Shahih Bukhori
Jual-beli
2059
Shahih Bukhori
لمظلم ولغصب
2280
Shahih Bukhori
Nafkah
4940
Shahih Bukhori
Nafkah
4945
Shahih Bukhori
Nafkah
4951
Shahih Bukhori
لأيمن ولنذور
6150
Shahih Bukhori
لأحكم
6628
Shahih Bukhori
لأحكم
6644
Sunan an-Nasa’i
أدب القضة
5325
Sunan Abu Dawud
Jual-beli
3065
Sunan Abu Dawud
Jual-beli
3066
Sunan Ibnu Majah
لتجرت
2284
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لأنصر
22988
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لأنصر
23098
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لأنصر
24531
Musnad Ahmad bin Hanbal
بقي مسند لأنصر
24801
Sunan ad-Darimi
Nikah
2159


C.    Hadis-hadisPendukung

وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ: قَالَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلم ( لِلْمَمْلُوكِطَعَامُهُوَكِسْوَتُهُ, وَلَايُكَلَّفُمِنْاَلْعَمَلِإِلَّامَايُطِيقُ )  رَوَاهُمُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah  Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hamba yang dimiliki wajib diberi makan dan pakaian, dan tidak dibebani pekerjaan  kecuali yang ia mampu." Riwayat Muslim.
وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ: ( جَاءَرَجُلٌإِلَىاَلنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمفَقَالَ: يَارَسُولَاَللَّهِ! عِنْدِيدِينَارٌ? قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىنَفْسِكَقَالَ: عِنْدِيآخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىوَلَدِكَقَالَ: عِنْدِيآخَرُ? قَالَ: أَنْفِقْهُعَلَىأَهْلِكَقَالَ: عِنْدِيآخَرُ, قَالَ: أَنْفِقُهُعَلَىخَادِمِكَقَالَعِنْدِيآخَرُ, قَالَ: أَنْتَأَعْلَمَ )  أَخْرَجَهُاَلشَّافِعِيُّوَاللَّفْظُلَهُ, وَأَبُودَاوُدَ, وَأَخْرَجَهُالنَّسَائِيُّوَالْحَاكِمُبِتَقْدِيمِاَلزَّوْجَةِعَلَىاَلْوَلَدِ
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar?. Beliau bersabda: "Nafkahilah dirimu sendiri." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi anakmu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi istrimu." Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Nafkahi pembantumu." Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: "Engkau lebih tahu (siapa yang harus diberi nafkah)." Riwayat Syafi'i dan Abu Dawud dengan lafadz menurut Abu Dawud. Nasa'i dan Hakim juga meriwayatkan dengan mendahulukan istri daripada anak.[6]



D.    Makna Mufradat
هند بنت عتبة             : Disini yang dimaksud ialah hindun binti utbah binti rabi’ah.   Sedangkan umayah nama aslinya adalah sharkh bin hareb umayah bin abdi syams bin abdi manaf.
شحيح                      : pelit artinya bakhil lagi tamak. Kata ini lebih umum daripada kata bakhil. Karena bakhil hanya berarti pelarangan menggunakan harta, sedangkan syahieh lebih umum yaitu mencegah penggunaan segala sesuatu dalam semua keadaan. Demikian tersebut dalam kitab al-fath.
بالمعروف                 : menurut al qurtubi yang dimaksud dengan cara yang baik ialah ukuran yang sudah diketahui menurut adat, yaitu cukup.
E.     Analisis Kebahasaan dan Ushul Fiqh
Dalam hadits kedua ini mengandung lafadz yang mutlak yaitu “ حذي ” yakni tidak ada batasan untuk mengambil barang dari suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya. Akan tetapi lafadz ini kemudian dibatasi (muqayyadkan) dengan lafadz setelahnya yaitu “ مايكفيك ” yakni kebolehan mengambil barang suami itu hanya sebatas untuk kebutuhan dia (istri) dan juga kebutuhan anan-anaknya saja.
F.     Kandungan Hukum dan Metode Istimbatnya
Hadits ini menunjukkan atas kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya. Pendapat semacam ini telah disepakati oleh para Ulama, sebagaimana diterangkan dimuka. Disamping itu, ayah juga wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Dan bagi seseorang yang berhak memperoleh nafkah secara syara’ dari seseorang yang lain, boleh mengambil harta orang lain itu untuk memenuhi kebutuhanya asal tidak berlebihan, kalau memang orang lain itu tidak mau melaksanakan kewajibannya dan terus-menerus berada dalam kealpaannya.
Dalam hal kewajiban ayah memberikan nafkah kepada anak ini, tidak ada perbedaan apakah anak itu masih kecil atau sudah besar. Konon di antara anak-anak Hindu ada yang sudah mukallaf seperti Mu’awwiyah yang masuk islam pada saat penaklukan kota Mekkah dan pada waktu itu dia berusia 18 tahun. Berdasarkan keterangan ini, Mu’awwiyah sudah mukallaf sejak sebelum Nabi SAW. Hijrah ke Madinah, padahal pertanyaan Hindun ini diajukan pada tahun penaklukan kota Mekkah.
Sementara itu, Ulama pengikut madzhab Syafi’i mengajukan syarat :masih kecil atau sudah renta. Begitu pula yang diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Jumhur Ulama. Hadits tersebut menolak pendapat mereka. Ada pula Ulama yang menanggapi penggunaan hadits ini sebagai dalil atas kewajiban memberikan nafkah kepada anak, dengan mengatakan :Itu hanyalah kejadian perorangan, tidak bias digunakan secara umum.Pendapat ini tidak benar, karena sasaran pembicaraan kepada seseorang itu sama dengan sasaran kepada orang banyak, sebagaimana telah ditetapkan dalam Kitab Ushul.
Dalam suatu riwayat Bukhori dan Muslim, disebutkan : “… apa yang mencukupi dirimu dan mencukupi anakmu”. Riwayat ini juga ditanggapi bahwa itu bisa dikategorikan sebagai fatwa dan bukan ketetapan hukum. Tanggapan ini pun keliru,  sebab  Rasululloh saw. Tidaklah memberikan fatwa kecuali dengan benar (haq).
Hadits di atas  juga digunakan pula sebagai dalil bahwa ukuran nafkah istri adalah dengan “kecukupan”. Dengan demikian yang dikatakan oleh mayoritas Ulama.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah diukur dengan takaran  mud (1 mud = 6 ons).  Orang yang kaya, setiap hari harus memberikan nafkah sebanyak 2 mud. Orang yang sedang memberikan nafkah 1 mud. Dan orang yang melarat, 1 mud. Pendapat semacam ini juga diriwayatkan dari Imam Malik.





[1] Aplikasi Hadis
[2] Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Mahrom, (Jakarta: Pustaka Azzam),.
[3] Kitab Hadis Ahkam
[4] Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Baari, Juz.25 (Jak-Sel: Pustaka Azzam), 658.
[5] Aplikasi al Hadis
[6] Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Mahrom, (Jakarta: Pustaka Azzam),.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar