Kamis, 11 Oktober 2012

اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia memiliki suatu hal yang yang esensial yang tidak tidak terdapat pada hewan, yakni ruh atau jiwa. Ruh dan jiwa dimanifestasikan dengan cara berpikir dan cara merasa. Hewan memang mempunyai otak tapi tidak berpikir, juga punya hati tapi tidak membentuk rasa rohani, hewan berbuat sesuatu hanya mengikuti insting hewaniahnya.
Setiap orang melakukan sesuatu karena sesuatu itu dipandang bernilai. Ia tidak melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak bernilai. Dari sini jelas bahwa cara itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu masyarakat memilih cara hidup tetentu berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya. Terbukti, jika suatu masyarakat meninggalkan satu perbuatan yang selama ini sudah biasa dijalani, maka mereka dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai inilah yang dinamakan kebiasaan, adat istiadat, budaya, tradisi, kultur dan seterusnya.
  Sebelum nabi Muhammad SAW. diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia maupun arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Islam dalam banyak ajaranya bersikap sangat kooperatif menyikapi fenomena kebudayaan ini. Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik-sosial dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dieliminasi, dibasmi, atau dianggap musuh yang membahayakan. Melainkan dipandang sebagai partner dan elemen yang harus diadopsi secara  selektif dan proporsional. Melalui kaidah ini ditegaskan, sebuah tradisi atau adat istiadat, baik yang bersifat individual maupun kolektif dapat dijadikan piranti penunjang hukum-hukum syari’at.[1]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, yang menjadi focus permasalahan dalam makalah ini adalah membahas arti kaidah , dasar kaidah, makna dan permasalahan yang berhubungan dengan kaidah  اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَاsecara global, kemudian masuk dalam pemahaman yang lebih mendalam lagi, yakni tentang aplikasi kaidah dalam Fiqh Muamalah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sehingga makalah ini memberikan pemahaman tambahan bagi pembaca.            
                                 

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Teks Kaidah
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا
B.     Arti  Kaidah
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah(alasan/argument/dalil) yang harus dilakukan.[2]
C.    Maksud Kaidah
Bahwasanya kaidah  اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا   merupakan cabang yang pertama dari kaidah اْلعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ.. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai islam meskipun aspek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam. Disinilah kemudian ulama’membagi adat kebiasaan yang ada dimasyarakat menjadi al-‘adah al-shahihah(adat yang shahih, benar, baik) dan ada pula ‘adah al-fasidah(adat yang mafsadah, salah, rusak).
Imam Izzudin bin abd al-salam menyatakan bahwa kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan al-syari’ah. Sedangkan kemaslahatan dan kemafsadatan dunia bisa dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan, perkiraan yang benar serta indicator.
Abu Ishak al-Syathibi menyatakan bahwa dilihat dari sisi bentuknya dalam realitas, adat dapat dibagi dua,yang pertama yaitu al-‘adah al-‘ammah(adat kebiasaan yang umum), yaitu adat kebiasaan manusia yang tidak berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan keadaan seperti kebiasaan untuk makan, minum, khawatir, kegembiraan, tidur, bangun, dll. Yang kedua adat kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah dan lain-lain.
Para ulama’mengartikan al-‘adah sama dengan al-‘urf meskipun dengan ungkapan yang berbeda, mislnya al-‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapanya dan perbuatanya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga mejadi kebiasaan.
Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya, bagaimana proses kejadianya, mengapa terjadi, dan siapa pelakunya. Kedua, pertimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama untuk hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis, adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis nabi, ternyata banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang menguatkanya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama’ sepanjang sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.[3]  
Secara umum, adat adalah sebuah kecenderungan(berupa ungkapan atau pekerjaan) pada satu objek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada objek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Fuqaha’ kemudian mendefinisikan adat secara terminologis sebagai norma yang sudah melekat dalam hati akibat pengulang-ulangan, sehingga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan”layak” menurut penilaian akal sehat. Norma yang bersifat individual adalah seperti kebiasaan tidur, makan minum, dll. Sedangkan norma social adalah sebentuk”kebenaran umum” yang diciptakan, disepakati, dan dijalankan oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi semacam”keharusan sosial” yang harus ditaati. [4]        

D.    Dasar Kaidah
Ø  Al Qur’an surat an nisa’ ayat 115:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا
Barang siapa menentang rosul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin,maka kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan kami masukan mereka kedalam neraka jahanam. Dan jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An- Nisa’:155)
Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam bahasa indonisia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil al mukminin disini dapat diejawentahkan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum muslimin, serta sudah menjadi langgam budaya sehari-hari mereka.
Ø  Al-Hadis
المكيا ل مكيا ل اهل المدينة,والوزن وزن اهل مكة
“Takaran adalah bagi penduduk madinah, timbangan adalah untuk penduduk makah”
Titik tekan(wajh al-dilalah) dalam hadis ini terletak pada penegasan nabi saw. bahwa penduduk madinah yang rata-rata berprofesi sebagai petani kurma dan gabah, dalam transaksi jual-belinya, diarahkan untuk tetap memakai takaran. Sementara kawasan yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pedagang seperti penduduk mekah , nabi Saw menegasikan agar tetap memakai timbangan. Hal ini menunjukan bahwa nabi saw. member legetimasi pada tradisi yang berkembang dikedua kota tersebut, dan tidak bermaksud menghapus atau memaksakan tradisi disatu kawasan harus diterapkan dikawasan lain, jika memang tidak sesuai dengan kebutuhan. [5] 

E.     Perbedaan dan Persamaan Adat dan ‘Urf
 Dalam banyak literatur fikh, istilah adat dan ‘urf merupakan dua kata yang sangat akrab ditelinga. Akan tetapi , pra-asumsi kita tentang dua istilah tersebut sering mengalami kerancuan, keduanya seakan mempunyai makna yang sama dan juga mempunyai makna berbeda.
Secara etimologis istilah al-‘adah terbentuk dari masdar al-‘awd dan al,mu’awadah yang kurang lebih berarti”pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf  terbentuk dari akar kata al-muta’raf  yang mempunyai makna”saling mengetahui”. Dengan demikian proses terbentuknya adat menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut al-‘awd wa al mu’wadah. Ketika pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap orang, maka ia telah memasuki stadium al-muta’araf. Tepat dititik ini adat telah”berganti baju”menjadi ‘urf. Karena itu, menurut sebagian fuqaha’ adat dan ‘urf secara terminologis tidak mempunyai perbedaan prinsipil. Artinya penggunaan istilah ‘urf dan adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Dalam kenyataanya , banyak ulama’fikh mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang(kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Pada domain ini baik dan buruknya kebiasaan itu tidak menjadi persoalan urgen, asalkan dilakukan secara kolektif, maka sudah ia termasuk katagori ‘urf. Berbeda dengan adat yang oleh fuqaha’diartikan sebagai tradisi secara umum, tanpa memandang apakah dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan istilah adat dan ‘urf memang berbeda bila ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaanya, istilah adat hanya menekankan aspek pengulangan pekerjaan, sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu, adat bisa dilakukan oleh pribadi atau kelompok, sementara ‘urf harus dijalani oleh kelompok atau komunitas tertentu. Simpelnya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, ‘urf lebih menekankan sisi pelakunya.
Persamaanya, adat dan ‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Titik perbedaan dan persamaan dalam alinea diatas sebenarnya muncul karena dilatarbelakangi banyaknya definisi yang ditawarkan masing-masing ulama’.[6]

F.     Syarat-syarat Adat
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan pijakan hukum, pertama, tidak bertentangan dengan salah satu nash syari’at; kedua berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan; ketiga tradisi itu sudah terbentuk bersamaan dengan saat pelaksanaanya; keempat tidak terdapat ucapan atau perbuatan yang berlawanan dengan nilai substansial yang dikandung oleh tradisi(madlamun al-adat). Empat syarat ini akan diperinci dalam pemilahan berikut:
1.      Adat tidak berbenturan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa adat shahih, sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek substansial nash. Sebab bila seluruh isi substansial nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash, karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tak tereliminasi. Dengan demikian, unsure-unsur positif adat yang tidak bersebrangan dengan nash bisa dipelihara dan dijadikan pondasi hukum, sementara bagian-bagian nash yang tidak terlindas oleh adat juga bisa dijadikan acuan hukum.
2.      Adat berlaku konstan(iththirad) dan menyeluruh, atau minimal dilakukan dengan kalangan mayoritas(ghalib). Bilapun ada yang tidak mengerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. Cara mengukur konstansi adat sepnuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat(ahl al-‘urf), apakah ia dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka jalankan atau tidak. Yang dimaksud adat yang konstan(iththirad) adalah adat yang bersifat umum dan tidak berubah-ubah dari waktu ke waktu.
3.      Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaanya. Hal ini dapat dilihat dalam istilah-istilah yang biasa digunakan dalam transaksi jual beli, wakaf, atau wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis transaksi ini harus disesuaikan dengan istilah yang berlaku saat transaksi itu berlangsung, bukan kebiasaan yang akan terbentuk kemudian.
4.      Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat(madlamun-al ‘adat). Misalnya disebuah pasar telah umum berlaku pelemparan alat tukar(tsaman) dalam prosesi transaksi. Pelemparan alat tukar yang biasa diistilahkan dengan tasqit al-tsaman  tersebut adalah sebagai tanda bukti pembayaran tanpa melalui media ucapan.   [7]


 
G.    Adat Shahih dan Fasid   
Bila ditilik secara umum, sebenarnya hanya terdapat dua kategori adat yang tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia; pertama adat shahih; kedua adat fasid. Perincianya adalah sebagai berikut:
1.      Adat Shahih, yakni bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil syar’I, tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadat. Contohnya seperti kebiasaan masyarakat feodal irak dalam memilih mas kawin menjadi mahar hal(kontan) dan mahar mu’ajjal(tunda), atau pemberian bingkisan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya sebelum dilangsungkannya akad nikah, dimana semua itu dianggap sebagai hadiah, bukan maskawin. Karena kebiasaan-kebiasaan diatas tidak berlawanan dengan garis ketentuan syariat, maka ia boleh dipelihara dan dijadikan pijakan hukum.
2.      Adat Fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil syariat, atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong timbulnya kerusakan. Contohnya adalah kebiasaan masyarakat arab jahiliyah yang mengubur anak perempuanya hidup-hidup karena dianggap sebagai aib, berjudi atau taruhan, menggandakan uang(rentenir), berpesta pora,dll. Jenis kedua ini sudah pasti tidak akan mendapat legitimasi syariat
Para ulama’ sepakat bahwa adat shahih wajib dipelihara dan diikuti bila sudah menjadi norma-norma social. Kewajiban ini berlaku bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum-hukum syari’at, atau bagi seorang hakim ketika memutuskan delik perkara di pengadilan. Sebab adat-istiadat bila sudah berlaku secara umum berarti telah menjadi kebutuhan elementer umat. Selama adat tidak berlawanan dengan nash, maka selama itu pula ia wajib dijadikan acuan.
Sebaliknya, adat fasid jelas tidak boleh dipelihara, karena pemeliharaan atas adat jenis ini akan mengakibatkan rusaknya fondasi hukum-hukum syariat. Padahal ajaran islam memuat cita kemaslahatan universal, sementara adat fasid belum tentu mengandung unsure-unsur maslahah, kalaupun ada pasti bersifat subjektif, temporal (sesaat), persial (sempalan), atau lokal-partikular.  
H.    Pertentangan antara Adat dan Nash    
Dalam syarat-syarat pengadopsian adat pernah sedikit disinggung tentang satu hal, yakni adat tidak boleh bertentangan dengan teks syariat (nash). Yang dimaksud dengan pertentangan adat dan nash adalah pertentangan bahasa dan perilaku keseharian manusia dengan istilah dalam al-qur’an atau al-hadis. Pertentangan ini akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ø  Pertentangan antara teks syariah dengan bahasa keseharian manusia, sementara muatan teks syariah sama sekali tidak bersinggungan dengan hukum. Maka yang didahulukan adalah penggunaan bahasa yang sudah menjadi langgam keseharian. Hal ini akan sangat tampak sebagaimana orang yang bersumpah tidak akan makan daging (Arab: Lahm). Maka ia tidak akan dikatakan melanggar sumpah ketika dia memakan ikan (Arab: samak).
Ø  Pertentangan antara bahasa keseharian dengan kata yang terdapat dalam teks al-qur’an dan al-hadis yang ada kaitanya dengan hukum. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah kandungan makna nash. Seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan melakukan shalat, maka ia tidak dikatakan melanggar sumpah karena melakukan shalat jenazah. Sebab dalam dalam shalat jenazah tidak terdapat rukuk dan sujud, yang merupakan makna shalat dalam muatan teks syar’i. Artinya yang dimaksud shalat dalam istilah syari’at hanyalah shalat yang didalamnya terdapat rukuk dan sujud.[8]

I.       Karakteristik dan Bentuk Adat    
Bila ditinjau dari jenis pekerjaanya, adat terbagi menjadi ‘urf qawli (kultur-linguistik) dan ‘urf fi’li (kultur-normatif). Dan jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, adat terbilah menjadi ‘urf am dan ‘urf khas. Perincianya adalah sebagai berikut:

Ø  ‘Urf Qawli dan Fi’li
‘Urf qawli adalah sejenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain diluar apa yang mereka pahami. Artinya, ketika kata itu diucapkan, maka yang terbesit dalam hati mereka adalah makna khusus tersebut, bukan antonim makna lainya.
Ø  ‘Urf Fi’li adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma social.
Ø  ‘Urf ‘Am dan Khash
Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi menjadi dua kategori umum, yaitu:
ü  ‘adat ‘urfiyyah ‘ammah adalah sebentuk pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi, atau letak geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas cakupan, dan lintas zaman. ‘Adat ‘urfiyyah ‘ammah bisa berbentuk ucapan atau pekerjaan.
ü  ‘adat ‘urfiyyah khashah adalah sejenis kebiasaan yang berlaku dikawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainya. Tradisi ini bisa berubah dan berbeda disebabkan perbedaan tempat dan waktu. Adat ini juga bisa berbentuk ucapan atau pekerjaan. [9]

J.      Aplikasi dalam Fikh Muamalah dan KHES
Dalam budaya masyarakat Arab, dapat kita saksikan transaksi jual beli tanpa shighat(bai’ al mu’athah), dan hal itu juga terjadi di mayrakat kita yang sudah sangat umum terjadi. Karena sangat mudah dijalankan, kebiasaan ini dianggap hal yang lumrah dan terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat.  Tak heran bila qawl mukhtar  memperbolehkan transaksi jenis ini, dengan catatan hanya pada barang-barang yang bernilai nominal rendah(muhqirat), sebab transaksi tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit dihindari. Tapi umumnya orang-orang tidak memperhatikan nilai nominal dari benda tersebut, biasanya apabila nilai nominal benda itu tinggi(mahal) hanya menggunakan saksi dan tanda bukti pembayaran (kwitansi), mereka tidak begitu memperhatikan dengan adanya shighat, padahal shigat merupakan salah satu dari rukunya jual beli. Karena sudah menjadi kebiasaan/adat dimasyarakat maka hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak melanggar dengan ketentuan  hukum syar’i.[10]
Hal diatas yakni masalah bai’ al mu’athah juga diperbolehkan didalam KHES, karena sesuai dengan pasal 78, yang berbunyi “beberapa hal yang termasuk ke dalam jual beli sekalipun tidak disebutkan secara tegas dalam akad, adalah:
a.      Dalam proses jual beli biasanya disertakan segala sesuatu yang menurut adat setempat biasa berlaku dalam barang yang dijual, meskipun tidak secara spesifik di cantumkan 
Dan pasal 81 ayat (3) yang berbunyi ”tata cara serah terima barang sebagaimana disebutkan pada ayat (2) wajib memperhatikan kebiasaan dan kepatutan masyarakat ”.[11]
                                              

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan orang banyak.  Tetapi perlu ditegaskan disini, sebuah tradisi bukanlah landasan yuridis atau perangkat metodologis otonom yang berfungsi mencetuskan hukum-hukum baru. Fenomena kebudayaan bukanlah sebuah dalil yang berdiri sendiri dan akan meahirkan produk hukum anyar, melainkan”sekedar ornemen” untuk melegitimasi hukum-hukum syari’at. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut perspektif syaria’t dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash syar’i.

DAFTAR PUSTAKA

Maimoen Zubair. 2006. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: Khalista.
Ahmad Djazuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani. 2009. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


[1] Maioen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2005), 267.
[2] Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 84.
[3] Djazuli, hlm. 79.
[4] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 274.
[5] Maimoein Zubair, hlm. 269.
[6] Maimoen Zubair, hlm. 274.
[7] Maimoen Zubir, hlm. 283.
[8] Maimoen Zubair, hlm. 292.
[9] Maimoen Zubair, hlm. 288.
[10] Maimoen Zubair, hlm. 289.
[11] Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarkat Madani, KHES, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar