BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia memiliki suatu hal yang
yang esensial yang tidak tidak terdapat pada hewan, yakni ruh atau jiwa. Ruh
dan jiwa dimanifestasikan dengan cara berpikir dan cara merasa. Hewan memang
mempunyai otak tapi tidak berpikir, juga punya hati tapi tidak membentuk rasa
rohani, hewan berbuat sesuatu hanya mengikuti insting hewaniahnya.
Setiap orang melakukan sesuatu
karena sesuatu itu dipandang bernilai. Ia tidak melakukan sesuatu yang dianggapnya
tidak bernilai. Dari sini jelas bahwa cara itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu
masyarakat memilih cara hidup tetentu berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya.
Terbukti, jika suatu masyarakat meninggalkan satu perbuatan yang selama ini
sudah biasa dijalani, maka mereka dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai inilah yang dinamakan kebiasaan, adat istiadat, budaya, tradisi,
kultur dan seterusnya.
Sebelum nabi Muhammad SAW. diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di
masyarakat baik di dunia maupun arab maupun dibagian lain termasuk di
Indonesia. Islam dalam banyak ajaranya bersikap sangat kooperatif menyikapi
fenomena kebudayaan ini. Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik-sosial
dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dieliminasi, dibasmi, atau dianggap
musuh yang membahayakan. Melainkan dipandang sebagai partner dan elemen yang
harus diadopsi secara selektif dan
proporsional. Melalui kaidah ini ditegaskan, sebuah tradisi atau adat istiadat,
baik yang bersifat individual maupun kolektif dapat dijadikan piranti penunjang
hukum-hukum syari’at.[1]
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
penjelasan diatas, yang menjadi focus permasalahan dalam makalah ini adalah
membahas arti kaidah , dasar kaidah, makna dan permasalahan yang berhubungan
dengan kaidah اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ
الْعَمَلُ بِهَاsecara global, kemudian masuk dalam
pemahaman yang lebih mendalam lagi, yakni tentang aplikasi kaidah dalam Fiqh
Muamalah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sehingga makalah ini memberikan
pemahaman tambahan bagi pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teks Kaidah
اِسْتِعْمَالُ
النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا
B.
Arti Kaidah
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah
hujjah(alasan/argument/dalil) yang harus dilakukan.[2]
C.
Maksud
Kaidah
Bahwasanya kaidah
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ
يَجِبُ الْعَمَلُ بِهَا merupakan
cabang yang pertama dari kaidah اْلعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ..
Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap
oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi
dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika islam datang
membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan
nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat
kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai islam
meskipun aspek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam. Disinilah kemudian
ulama’membagi adat kebiasaan yang ada dimasyarakat menjadi al-‘adah
al-shahihah(adat yang shahih, benar, baik) dan ada pula ‘adah al-fasidah(adat
yang mafsadah, salah, rusak).
Imam Izzudin bin abd al-salam menyatakan bahwa
kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali
dengan al-syari’ah. Sedangkan kemaslahatan dan kemafsadatan dunia bisa
dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan, perkiraan yang benar serta
indicator.
Abu Ishak al-Syathibi menyatakan bahwa dilihat dari
sisi bentuknya dalam realitas, adat dapat dibagi dua,yang pertama yaitu
al-‘adah al-‘ammah(adat kebiasaan yang umum), yaitu adat kebiasaan manusia yang
tidak berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan keadaan seperti kebiasaan
untuk makan, minum, khawatir, kegembiraan, tidur, bangun, dll. Yang kedua adat
kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan keadaan seperti
bentuk-bentuk pakaian, rumah dan lain-lain.
Para ulama’mengartikan al-‘adah sama dengan al-‘urf
meskipun dengan ungkapan yang berbeda, mislnya al-‘urf adalah apa yang dikenal
oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapanya dan perbuatanya sampai hal
tersebut menjadi biasa dan berlaku umum. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah
atau al-‘urf ini didefinisikan dengan apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia
secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga mejadi kebiasaan.
Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua
macam pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan
kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya,
bagaimana proses kejadianya, mengapa terjadi, dan siapa pelakunya. Kedua,
pertimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama untuk hukum-hukum
yang tidak tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis, adat kebiasaan harus
menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis nabi, ternyata banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis nabi
yang menguatkanya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh
para ulama’ sepanjang sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.[3]
Secara umum, adat adalah sebuah kecenderungan(berupa
ungkapan atau pekerjaan) pada satu objek tertentu, sekaligus pengulangan
akumulatif pada objek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau
kelompok. Fuqaha’ kemudian mendefinisikan adat secara terminologis sebagai
norma yang sudah melekat dalam hati akibat pengulang-ulangan, sehingga diterima
sebagai sebuah realitas yang rasional dan”layak” menurut penilaian akal sehat.
Norma yang bersifat individual adalah seperti kebiasaan tidur, makan minum,
dll. Sedangkan norma social adalah sebentuk”kebenaran umum” yang diciptakan,
disepakati, dan dijalankan oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi
semacam”keharusan sosial” yang harus ditaati. [4]
D.
Dasar
Kaidah
Ø Al Qur’an surat an nisa’ ayat 115:
ومن يشاقق الرسول من بعد
ما تبين له الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا
Barang siapa menentang rosul setelah datangnya
petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin,maka kami biarkan dia
leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan kami masukan
mereka kedalam neraka jahanam. Dan jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali. (QS. An- Nisa’:155)
Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim
dengan thariq yang dalam bahasa indonisia memiliki arti sama, yaitu jalan.
Dengan demikian, sabil al mukminin disini dapat diejawentahkan sebagai sesuatu
yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum muslimin,
serta sudah menjadi langgam budaya sehari-hari mereka.
Ø Al-Hadis
المكيا ل مكيا ل اهل
المدينة,والوزن وزن اهل مكة
“Takaran adalah bagi penduduk madinah,
timbangan adalah untuk penduduk makah”
Titik tekan(wajh al-dilalah) dalam hadis ini
terletak pada penegasan nabi saw. bahwa penduduk madinah yang rata-rata
berprofesi sebagai petani kurma dan gabah, dalam transaksi jual-belinya,
diarahkan untuk tetap memakai takaran. Sementara kawasan yang mayoritas
penduduknya berprofesi sebagai pedagang seperti penduduk mekah , nabi Saw
menegasikan agar tetap memakai timbangan. Hal ini menunjukan bahwa nabi saw.
member legetimasi pada tradisi yang berkembang dikedua kota tersebut, dan tidak
bermaksud menghapus atau memaksakan tradisi disatu kawasan harus diterapkan
dikawasan lain, jika memang tidak sesuai dengan kebutuhan. [5]
E.
Perbedaan
dan Persamaan Adat dan ‘Urf
Dalam banyak
literatur fikh, istilah adat dan ‘urf merupakan dua kata yang sangat akrab
ditelinga. Akan tetapi , pra-asumsi kita tentang dua istilah tersebut sering
mengalami kerancuan, keduanya seakan mempunyai makna yang sama dan juga
mempunyai makna berbeda.
Secara etimologis istilah al-‘adah terbentuk
dari masdar al-‘awd dan al,mu’awadah yang kurang lebih
berarti”pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf terbentuk dari akar kata al-muta’raf yang mempunyai makna”saling mengetahui”.
Dengan demikian proses terbentuknya adat menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi
dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan
inilah yang disebut al-‘awd wa al mu’wadah. Ketika pengulangan itu
membuatnya tertanam dalam hati setiap orang, maka ia telah memasuki stadium al-muta’araf.
Tepat dititik ini adat telah”berganti baju”menjadi ‘urf. Karena itu, menurut
sebagian fuqaha’ adat dan ‘urf secara terminologis tidak mempunyai perbedaan
prinsipil. Artinya penggunaan istilah ‘urf dan adat tidak mengandung perbedaan
signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Dalam kenyataanya , banyak ulama’fikh mengartikan
‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang(kelompok) dan timbul dari
kreativitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Pada domain
ini baik dan buruknya kebiasaan itu tidak menjadi persoalan urgen, asalkan
dilakukan secara kolektif, maka sudah ia termasuk katagori ‘urf. Berbeda dengan
adat yang oleh fuqaha’diartikan sebagai tradisi secara umum, tanpa memandang
apakah dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan istilah adat
dan ‘urf memang berbeda bila ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaanya, istilah adat hanya menekankan aspek pengulangan pekerjaan,
sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu, adat bisa dilakukan oleh
pribadi atau kelompok, sementara ‘urf harus dijalani oleh kelompok atau
komunitas tertentu. Simpelnya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, ‘urf lebih
menekankan sisi pelakunya.
Persamaanya, adat dan ‘urf adalah sebuah pekerjaan
yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang,
dan sesuai dengan karakter pelakunya. Titik perbedaan dan persamaan dalam
alinea diatas sebenarnya muncul karena dilatarbelakangi banyaknya definisi yang
ditawarkan masing-masing ulama’.[6]
F.
Syarat-syarat
Adat
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah
tradisi untuk dijadikan pijakan hukum, pertama, tidak bertentangan
dengan salah satu nash syari’at; kedua berlaku dan atau diberlakukan
secara umum dan konstan; ketiga tradisi itu sudah terbentuk bersamaan
dengan saat pelaksanaanya; keempat tidak terdapat ucapan atau perbuatan
yang berlawanan dengan nilai substansial yang dikandung oleh tradisi(madlamun
al-adat). Empat syarat ini akan diperinci dalam pemilahan berikut:
1.
Adat
tidak berbenturan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa adat
shahih, sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek substansial nash. Sebab
bila seluruh isi substansial nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan
bertentangan dengan nash, karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tak
tereliminasi. Dengan demikian, unsure-unsur positif adat yang tidak
bersebrangan dengan nash bisa dipelihara dan dijadikan pondasi hukum, sementara
bagian-bagian nash yang tidak terlindas oleh adat juga bisa dijadikan acuan
hukum.
2.
Adat
berlaku konstan(iththirad) dan menyeluruh, atau minimal dilakukan dengan
kalangan mayoritas(ghalib). Bilapun ada yang tidak mengerjakan, maka itu
hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. Cara mengukur konstansi
adat sepnuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat(ahl al-‘urf), apakah
ia dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka jalankan atau tidak.
Yang dimaksud adat yang konstan(iththirad) adalah adat yang bersifat
umum dan tidak berubah-ubah dari waktu ke waktu.
3.
Adat
sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaanya. Hal ini dapat dilihat dalam
istilah-istilah yang biasa digunakan dalam transaksi jual beli, wakaf, atau
wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis transaksi ini harus disesuaikan
dengan istilah yang berlaku saat transaksi itu berlangsung, bukan kebiasaan
yang akan terbentuk kemudian.
4.
Tidak
terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial
adat(madlamun-al ‘adat). Misalnya disebuah pasar telah umum berlaku
pelemparan alat tukar(tsaman) dalam prosesi transaksi. Pelemparan alat
tukar yang biasa diistilahkan dengan tasqit al-tsaman tersebut adalah sebagai tanda bukti
pembayaran tanpa melalui media ucapan. [7]
G.
Adat
Shahih dan Fasid
Bila ditilik secara umum, sebenarnya hanya terdapat
dua kategori adat yang tidak lepas dari dinamika kehidupan manusia; pertama
adat shahih; kedua adat fasid. Perincianya adalah sebagai berikut:
1.
Adat
Shahih, yakni bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil syar’I,
tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak membatalkan sesuatu yang wajib,
tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadat.
Contohnya seperti kebiasaan masyarakat feodal irak dalam memilih mas kawin
menjadi mahar hal(kontan) dan mahar mu’ajjal(tunda), atau
pemberian bingkisan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya sebelum
dilangsungkannya akad nikah, dimana semua itu dianggap sebagai hadiah, bukan
maskawin. Karena kebiasaan-kebiasaan diatas tidak berlawanan dengan garis
ketentuan syariat, maka ia boleh dipelihara dan dijadikan pijakan hukum.
2.
Adat
Fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil syariat, atau menghalalkan
keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan
mendorong timbulnya kerusakan. Contohnya adalah kebiasaan masyarakat arab
jahiliyah yang mengubur anak perempuanya hidup-hidup karena dianggap sebagai
aib, berjudi atau taruhan, menggandakan uang(rentenir), berpesta pora,dll.
Jenis kedua ini sudah pasti tidak akan mendapat legitimasi syariat
Para ulama’ sepakat bahwa adat shahih wajib
dipelihara dan diikuti bila sudah menjadi norma-norma social. Kewajiban ini
berlaku bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum-hukum syari’at, atau bagi seorang
hakim ketika memutuskan delik perkara di pengadilan. Sebab adat-istiadat bila
sudah berlaku secara umum berarti telah menjadi kebutuhan elementer umat.
Selama adat tidak berlawanan dengan nash, maka selama itu pula ia wajib
dijadikan acuan.
Sebaliknya, adat fasid jelas tidak boleh dipelihara,
karena pemeliharaan atas adat jenis ini akan mengakibatkan rusaknya fondasi
hukum-hukum syariat. Padahal ajaran islam memuat cita kemaslahatan universal,
sementara adat fasid belum tentu mengandung unsure-unsur maslahah, kalaupun ada
pasti bersifat subjektif, temporal (sesaat), persial (sempalan), atau
lokal-partikular.
H.
Pertentangan
antara Adat dan Nash
Dalam syarat-syarat pengadopsian adat pernah sedikit
disinggung tentang satu hal, yakni adat tidak boleh bertentangan dengan teks
syariat (nash). Yang dimaksud dengan pertentangan adat dan nash adalah
pertentangan bahasa dan perilaku keseharian manusia dengan istilah dalam
al-qur’an atau al-hadis. Pertentangan ini akan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
Ø Pertentangan antara teks syariah dengan
bahasa keseharian manusia, sementara muatan teks syariah sama sekali tidak
bersinggungan dengan hukum. Maka yang didahulukan adalah penggunaan bahasa yang
sudah menjadi langgam keseharian. Hal ini akan sangat tampak sebagaimana orang
yang bersumpah tidak akan makan daging (Arab: Lahm). Maka ia tidak akan
dikatakan melanggar sumpah ketika dia memakan ikan (Arab: samak).
Ø Pertentangan antara bahasa keseharian
dengan kata yang terdapat dalam teks al-qur’an dan al-hadis yang ada kaitanya
dengan hukum. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah kandungan makna nash.
Seperti halnya orang yang bersumpah tidak akan melakukan shalat, maka ia tidak
dikatakan melanggar sumpah karena melakukan shalat jenazah. Sebab dalam dalam
shalat jenazah tidak terdapat rukuk dan sujud, yang merupakan makna shalat
dalam muatan teks syar’i. Artinya yang dimaksud shalat dalam istilah syari’at
hanyalah shalat yang didalamnya terdapat rukuk dan sujud.[8]
I.
Karakteristik
dan Bentuk Adat
Bila ditinjau dari jenis pekerjaanya, adat terbagi
menjadi ‘urf qawli (kultur-linguistik) dan ‘urf fi’li (kultur-normatif). Dan
jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, adat terbilah menjadi ‘urf am dan
‘urf khas. Perincianya adalah sebagai berikut:
Ø ‘Urf Qawli dan Fi’li
‘Urf qawli adalah sejenis kata, ungkapan, atau
istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna
khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain diluar apa yang mereka pahami.
Artinya, ketika kata itu diucapkan, maka yang terbesit dalam hati mereka adalah
makna khusus tersebut, bukan antonim makna lainya.
Ø ‘Urf Fi’li adalah sejenis pekerjaan atau
aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga
dipandang sebagai norma social.
Ø ‘Urf ‘Am dan Khash
Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi
menjadi dua kategori umum, yaitu:
ü ‘adat ‘urfiyyah ‘ammah adalah sebentuk
pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian
generasi, atau letak geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas
cakupan, dan lintas zaman. ‘Adat ‘urfiyyah ‘ammah bisa berbentuk ucapan atau
pekerjaan.
ü ‘adat ‘urfiyyah khashah adalah sejenis
kebiasaan yang berlaku dikawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada
komunitas lainya. Tradisi ini bisa berubah dan berbeda disebabkan perbedaan
tempat dan waktu. Adat ini juga bisa berbentuk ucapan atau pekerjaan. [9]
J.
Aplikasi
dalam Fikh Muamalah dan KHES
Dalam budaya masyarakat Arab, dapat kita saksikan
transaksi jual beli tanpa shighat(bai’ al mu’athah), dan hal itu juga
terjadi di mayrakat kita yang sudah sangat umum terjadi. Karena sangat mudah
dijalankan, kebiasaan ini dianggap hal yang lumrah dan terjadi pada hampir
semua lapisan masyarakat. Tak heran bila
qawl mukhtar memperbolehkan
transaksi jenis ini, dengan catatan hanya pada barang-barang yang bernilai
nominal rendah(muhqirat), sebab transaksi tersebut telah menjadi
kebiasaan masyarakat yang sulit dihindari. Tapi umumnya orang-orang tidak
memperhatikan nilai nominal dari benda tersebut, biasanya apabila nilai nominal
benda itu tinggi(mahal) hanya menggunakan saksi dan tanda bukti pembayaran
(kwitansi), mereka tidak begitu memperhatikan dengan adanya shighat, padahal
shigat merupakan salah satu dari rukunya jual beli. Karena sudah menjadi
kebiasaan/adat dimasyarakat maka hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak
melanggar dengan ketentuan hukum syar’i.[10]
Hal diatas yakni masalah bai’ al mu’athah juga
diperbolehkan didalam KHES, karena sesuai dengan pasal 78, yang berbunyi “beberapa
hal yang termasuk ke dalam jual beli sekalipun tidak disebutkan secara tegas
dalam akad, adalah:
a.
Dalam
proses jual beli biasanya disertakan segala sesuatu yang menurut adat setempat
biasa berlaku dalam barang yang dijual, meskipun tidak secara spesifik di
cantumkan ”
Dan pasal 81 ayat (3) yang berbunyi ”tata cara
serah terima barang sebagaimana disebutkan pada ayat (2) wajib memperhatikan
kebiasaan dan kepatutan masyarakat ”.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa apa
yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan orang banyak. Tetapi perlu ditegaskan disini, sebuah
tradisi bukanlah landasan yuridis atau perangkat metodologis otonom yang
berfungsi mencetuskan hukum-hukum baru. Fenomena kebudayaan bukanlah sebuah
dalil yang berdiri sendiri dan akan meahirkan produk hukum anyar,
melainkan”sekedar ornemen” untuk melegitimasi hukum-hukum syari’at. Dan perlu
dicatat pula, yang bisa dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang
dinilai baik menurut perspektif syaria’t dan tentunya tidak bertentangan dengan
nash-nash syar’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Maimoen
Zubair. 2006. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual.
Surabaya: Khalista.
Ahmad
Djazuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pusat
Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani. 2009. Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[1] Maioen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2005), 267.
[2] Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), 84.
[3] Djazuli, hlm. 79.
[4] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 274.
[5] Maimoein Zubair, hlm. 269.
[6] Maimoen Zubair, hlm. 274.
[7] Maimoen Zubir, hlm. 283.
[8] Maimoen Zubair, hlm. 292.
[9] Maimoen Zubair, hlm. 288.
[10] Maimoen Zubair, hlm. 289.
[11] Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarkat Madani, KHES,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar