Kamis, 11 Oktober 2012

SADDU DZARI'AH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan madharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Digunakanya saddu adzari’ah dalam menyelesaikan permasalahan agama islam sangatlah diperlukan. karna sifatnya yang  flexibel terhadap pengambilan hukum, semisal jika ukuran mafsadah dan maslakhah itu sama, maka masih boleh mengambil hukum yang di kaji. Tapi jika mafsadah lebih banyak dari pada maslakhahnya, maka tidak boleh hukumnya dan juga sebaliknya.  
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan saddu adz-dzari’ah secara bahasa dan istilah?
2.      Apa saja macam-macam saddu adz-dzari’ah?
3.      Apa saja unsure-unsur  saddu adz-dzari’ah?
4.      Apa yang menjadi dasar saddu adz-dzari’ah?
5.      Bagaimana pandangan para ulama’ tentang saddu adz-dzari’ah?
6.      Bagaimana contoh-contoh tentang saddu adz-dzari’ah?


B.     Tujuan Pembahasan
Makalah dibahas dengan tujuan agar mahasiswa mampu memahami apa itu saddu adz-dzari’ah menurut bahasa dan istilah,  macam-macam, rukun-rukun, dasar-dasar, dan pandangan para ulama’ tentang saddu adz-dzari’ah serta agar mahasiswa mampu menjelaskan contoh-contoh saddu adz-dzari’ah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian saddu dzari’ah secara etimologis dan terminologi
1.      Secara etimologis
 Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2.      Secara terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).  Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.[1]

B.     Kehujjahan  Sadd Adz-Dzari’ah

Di kalangan ulama’ ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’.Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:

1.      Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 108:
ولاتسبواالذين يدعون من دون الله بغيرعلم.....الأية[2]
Artinya:
Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)
2.      Hadist Rosulullah SAW.antara lain:
من الكبائرشتم الرجل والديه,قالوا:يارسول الله وهل يشتم الرجل والديه؟قال"نعم,يسب أبا الرجل فيسب  أباالرجل أباه,ويسب أمه فيسب أمه(رواه البخاري ومسلم وأبوداود)[3]

Artinya:
Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya.Lalu Rosulullah SAW.ditanya,Wahai Rosulullah ,bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya.Rosulullah SAW.menjawab,”Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain,maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain,dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya.(HR.Bukhari,Muslim,dan Abu Dawud).

          Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah,dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah –masalah lain. Sedanangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur,misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan sholat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan sholat dzuhur.Namun,sholat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam,agar tidak dituduh sengaja meninggalkan sholat Jum’at.
         
Dalam memandang dzari’ah,ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul:
a.       Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu.Contohnya,seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama.Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b.      Dari segi dampaknya(akibat),misalnya seorang muslim mencaci maka sesembahan orang,sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci Allah.Oleh karena itu,perbuatan seperti itu dilarang.[4]

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Han`bilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad.Menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah ,dalam suatu transaksi,yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi.Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah.Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT.Menurut mereka,selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:  
المعتبرفي أوامرالله المعنى والمعتبرفي أمورالعباد الأسم واللفظ.
Artinya:
“Patokan dasar dalam hal- hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat ,sedangkan yang berkaitan dengan hak- hak hamba adalah lafadznya.
            
             Akan tetapi,jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada,maka berlaku kaidah:
العبرة في العقود بالمقاصدوالمعاني لابالألفاظ والمباني.
Artinya:
“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna,bukan lafadz dan bentuk formal(ucapan).

             Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabilah ,yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan.Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah.Namun,apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya,tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut,maka akadnya tetap dianggap sah,tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku,karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja.Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya,dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’,maka akadnya sah.Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,maka perbuatannya dianggap rusak,namun tidak ada efek hukumnya.
            
             Golongan zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

C.    Macam –Macam  Saddu Dzari’ah

Para ulama’ membagi saddu dzari’ah berdasarkan dua segi;segi kualitas kemafsadatan,dan segi jenis kemafsadatan.[5]

Ø  Saddu Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syathibi,dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam;
a.       Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam,yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut.Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja.
b.      Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c.       Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.Seperti menjual senjata pada musuh,yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
d.      Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan,seperti baiy al-ajal
(jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya:A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta.Kemudian A menjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai,sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif,sementara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut,meskipun mobilnya telah menjadi miliknya kembali.Jual beli ini cenderung pada riba.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’,apakah baiy al-ajal dilarang atau dibolehkan.Menurut Imam Syafii dan Abu Hanifah,jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi.Selain itu,dugaan tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut.Oleh karena itu,bentuk dzari’ah tersebut dibolehkan.
          Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut,yakni menimbulkan riba,dengan demikian dzari’ah seperti itu tidak dibolehkan.[6]

Ø  Saddu Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah,pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
a.       Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan,seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk,sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram,baik disengaja maupun tidak,seperti seorang laki –laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama.[7]

D.    Pendukung dan penentang Saddu Dzari’ah
Pendukung : hanafiyah, syafi’iyah, Abu Hanifah dan syi’ah
Penentang : Ahmad bin hambal, Imam Malik dan mazhab Zahiri  (Ibnu Hazm).
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:
1)      yang menerima sepenuhnya
2)      yang tidak menerima sepenuhnya
3)      yang menolak sepenuhnya

Ø  Alasan-alasan pendukung
Imam syafi’I : menerimanya apabila dalam ke adaan udzur misalnya, seorang musafir atau yang sakit diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at dan di perbolehkan menggantinya dengan shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak di tuduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
hanafiyah, syafi’iyah: menerima sad adz-dzari’ah  apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar akan terjadi.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd adz-dzari’ah  adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mufsadat. Apabila mafsadat lebih dominan maka boleh dilakukan dan sebaliknya maka harus ditinggalkan. Dan jika sama-sama kuat antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian maka harus diambil prinsip yang berlaku yaitu sebagaimana dirumuskan dalam dua kaidah dibawah ini:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مقدم على جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Artinya:” menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.”
اذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
Arinya : “bila berbaur yang harom dan yang halal, maka yang haram mengalahkan yang halal”

Ø  Alasan-alasan penentang
Ulama hanafiyah, syafi’iyah dan syi’ah menolak sad adz-dzari’ah  dalam masalah-masalah tertentu saja, misalnya: laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suami yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena tidak tidak dibenarkan secara syara’. Contoh lain, seorang muslim mencaci maki sesembahan orang maka orang musyrik tersebuat akan mencaci Allah, maka perbuatan seperti itu dilarang.
Ulama’ yang menolak sadd adz-dzari’ah  secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah. penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut  tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.[8]

E.     Unsur-unsur Saddu Dzari’ah
1.      Sadd
2.      Dzari’ah, hukumnya ada 2, yaitu boleh berdasarkan nash, dan tidak boleh karena menghindari kemafsadatan.
3.      Mafsadat
4.      Ghoyah(tujuan)

        
F.     Contoh-contoh Saddu Dzari’ah
Dalam kitab  سد ا لذا رييعه  dikatakan bahwa” apakah didalam بيع  dan   نكا ح  terdapat
  سد ا لذا رييعه  ?” tidak pasti”. Apabila niat sebelum dan sesudah akad itu baik, maka tidak هakan merusak akad tersebut, sebaliknya apabila niat sebelum dan sesudahnya itu tidak ditempatkan pada tempatnya maka niat tersebut akan merusak akad yang dilakukan. Imam syafi’I berkata: apabila tidak ada niat yang merusak  بيع  dan   نكا ح   maka tidak akan rusak keduanya, karna عقد  yang dilakukan adalah benar. Contoh lain adalah Ada perbuatan yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang.. Dengan menetapkan hukumnya, sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan yang dilarang.[9]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sadd adz-dzari’ah  (menutup sarana). Yang dimaksud dengan adz-dzari’ah  dalam ushul fiqh ialah sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. Jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang diharamkan, maka sarana tersebut harus ditutup atau dicegah. Inilah yang disebut dengan Sadd adz-dzari’ah . Sedangkan kebalikannya adalah Fath adz-dzari’ah , yakni membuka berbagai sarana yang mendekatkan kepada sesuatu yang hal dan membawa kepada kemaslahatan.
Imam Malik dan Imam Ahmad menempatkan Sadd adz-dzari’ah  sebagai salah satu dalil hukum. Sedangkan Imam al-Syafi’i (menurut salah satu interpretasi), Imam Abu Hanifah, dan Madzhab Syiah menerapkannya pada kondisi-kondisi tertentu. Adapun Madzhab Zhahiri men olaknya secara tegas dan totaliter.
Inilah yang di maksud dengan kaidah:

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Setiap sesuatu yang dapat menyempurnakan terlaksananya kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula”. 

DAFTAR PUSTAKA
Ibn Taimiyyah, Saddu al- Dzarai, Daru al fadilah,  Riyadh, 1420.
Thahir al Naifir Muhammad, Usul al Fiqh, Darbu Salamah, Tunesia.
Bakar Ismail Khabib Muhammd, Maqosidu asy-Syar’iyah al Islamiyyah Ta’silan Wa Taf’ilan, Daru Thoibah Khodro’, Makkah Mukarromah, 1427.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al- Fikr, Damaskus.
At-Toyyib as-Sanusi ahmad, al-Istiqraa’, Daaru at-Tadmuriyyah.


[1] Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu dzarai’,(Riyad;Daru al Fadilah), 26.
[2] Muhammad Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.
[3] Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar Thoibah al-Khadlro’),49.
[4] Ibid.,47.
[5] Ibid.
[6] Muhammad Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.
[7] Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar Thoibah al-Khadlro)’48.
[8] Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr).

[9] Ibid.,72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar