BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh
seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan
yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan
madharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada
serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama
mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak
dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan
baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran
dan Hadits Nabi.
Digunakanya saddu adzari’ah dalam menyelesaikan
permasalahan agama islam sangatlah diperlukan. karna sifatnya yang flexibel terhadap pengambilan hukum, semisal
jika ukuran mafsadah dan maslakhah itu sama, maka masih boleh mengambil hukum
yang di kaji. Tapi jika mafsadah lebih banyak dari pada maslakhahnya, maka
tidak boleh hukumnya dan juga sebaliknya.
A.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan saddu
adz-dzari’ah secara bahasa dan istilah?
2. Apa saja macam-macam saddu adz-dzari’ah?
3. Apa saja unsure-unsur saddu adz-dzari’ah?
4. Apa yang menjadi dasar saddu
adz-dzari’ah?
5. Bagaimana pandangan para ulama’ tentang
saddu adz-dzari’ah?
6. Bagaimana contoh-contoh tentang saddu
adz-dzari’ah?
B. Tujuan Pembahasan
Makalah dibahas dengan tujuan agar mahasiswa mampu
memahami apa itu saddu adz-dzari’ah menurut bahasa dan istilah, macam-macam, rukun-rukun, dasar-dasar, dan
pandangan para ulama’ tentang saddu adz-dzari’ah serta agar mahasiswa mampu
menjelaskan contoh-contoh saddu adz-dzari’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian saddu
dzari’ah secara etimologis dan terminologi
1. Secara etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan
adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة).
Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan
kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ
يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang
cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya
sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع).
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi
Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan
untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh
sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian
digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain.
2. Secara terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah
memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari
kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah),
namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu
kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan
kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz)
agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd
adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada
perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan
atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak
bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar
Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak
mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu
al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya
memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan
dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.[1]
B.
Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Di
kalangan ulama’ ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan
sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’.Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am
ayat 108:
ولاتسبواالذين
يدعون من دون الله بغيرعلم.....الأية[2]
Artinya:
Dan
jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)
2. Hadist Rosulullah SAW.antara lain:
من الكبائرشتم الرجل
والديه,قالوا:يارسول الله وهل يشتم الرجل والديه؟قال"نعم,يسب أبا الرجل فيسب أباالرجل
أباه,ويسب أمه فيسب أمه(رواه البخاري ومسلم وأبوداود)[3]
Artinya:
Sesungguhnya
sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya.Lalu
Rosulullah SAW.ditanya,Wahai Rosulullah ,bagaimana mungkin seseorang akan melaknat
ibu dan bapaknya.Rosulullah SAW.menjawab,”Seseorang yang mencaci maki ayah
orang lain,maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain,dan seseorang mencaci
maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci maki
ibunya.(HR.Bukhari,Muslim,dan Abu Dawud).
Ulama’
Hanafiyah,Syafi’iyah,dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam
masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah –masalah lain.
Sedanangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur,misalnya
seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan sholat jum’at dan
dibolehkan menggantinya dengan sholat dzuhur.Namun,sholat dzuhurnya harus
dilakukan secara diam-diam,agar tidak dituduh sengaja meninggalkan sholat
Jum’at.
Dalam memandang dzari’ah,ada dua
sisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan
sesuatu.Contohnya,seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah
ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada
suaminya yang pertama.Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak
dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya(akibat),misalnya
seorang muslim mencaci maka sesembahan orang,sehingga orang musyrik tersebut
akan mencaci Allah.Oleh karena itu,perbuatan seperti itu dilarang.[4]
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan
Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Han`bilah di pihak lain dalam
berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan
akad.Menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah ,dalam suatu transaksi,yang dilihat
adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi.Jika sudah memenuhi
syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah.Adapun masalah niat
diserahkan kepada Allah SWT.Menurut mereka,selama tidak ada indikasi-indikasi
yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
المعتبرفي
أوامرالله المعنى والمعتبرفي أمورالعباد الأسم واللفظ.
Artinya:
“Patokan dasar dalam hal- hal yang
berkaitan dengan hak Allah adalah niat ,sedangkan yang berkaitan dengan hak-
hak hamba adalah lafadznya.
Akan
tetapi,jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator
yang ada,maka berlaku kaidah:
العبرة في العقود
بالمقاصدوالمعاني لابالألفاظ والمباني.
Artinya:
“Yang menjadi patokan dasar dalam
perikatan-perikatan adalah niat dan makna,bukan lafadz dan bentuk
formal(ucapan).
Sedangkan
menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabilah ,yang menjadi ukuran adalah niat dan
tujuan.Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah.Namun,apabila
tidak sesuai dengan tujuan semestinya,tetapi tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut,maka akadnya tetap
dianggap sah,tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku,karena yang paling
mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja.Apabila ada indikator yang
menunjukkan niatnya,dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’,maka
akadnya sah.Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,maka perbuatannya
dianggap rusak,namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan
zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’.Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang
hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan
logika dalam masalah hukum.
C.
Macam
–Macam Saddu Dzari’ah
Para ulama’ membagi saddu dzari’ah
berdasarkan dua segi;segi kualitas kemafsadatan,dan segi jenis kemafsadatan.[5]
Ø Saddu Dzari’ah dari Segi Kualitas
Kemafsadatan
Menurut
Imam Asy-Syathibi,dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam;
a. Perbuatan yang dilakukan tersebut
membawa kemafsadatan yang pasti.Misalnya menggali sumur didepan rumah orang
lain pada waktu malam,yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur
tersebut.Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan
disengaja.
b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena
jarang mengandung kemafsadatan,misalnya menjual makanan yang biasanya tidak
mengandung kemafsadatan.
c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan
besar akan membawa kemafsadatan.Seperti menjual senjata pada musuh,yang
dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh
dilakukan karena mengandung kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya
kemafsadatan,seperti baiy al-ajal
(jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya:A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta.Kemudian A menjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai,sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif,sementara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut,meskipun mobilnya telah menjadi miliknya kembali.Jual beli ini cenderung pada riba.
(jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya:A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta.Kemudian A menjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai,sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif,sementara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut,meskipun mobilnya telah menjadi miliknya kembali.Jual beli ini cenderung pada riba.
Dalam
hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’,apakah baiy al-ajal
dilarang atau dibolehkan.Menurut Imam Syafii dan Abu Hanifah,jual beli tersebut
dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi.Selain
itu,dugaan tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut.Oleh karena
itu,bentuk dzari’ah tersebut dibolehkan.
Imam
Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh
praktek jual beli tersebut,yakni menimbulkan riba,dengan demikian dzari’ah
seperti itu tidak dibolehkan.[6]
Ø Saddu Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan
yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim
Aj-Jauziyah,pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan yang membawa kepada suatu
kemafsadatan,seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk,sedangkan
mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya
dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu
perbuatan yang haram,baik disengaja maupun tidak,seperti seorang laki –laki
menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali
kepada suaminya yang pertama.[7]
D.
Pendukung
dan penentang Saddu Dzari’ah
Pendukung
: hanafiyah, syafi’iyah, Abu Hanifah dan syi’ah
Penentang
: Ahmad bin hambal, Imam Malik dan mazhab
Zahiri (Ibnu Hazm).
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:
1)
yang menerima sepenuhnya
2)
yang tidak menerima sepenuhnya
3)
yang menolak sepenuhnya
Ø
Alasan-alasan pendukung
Imam syafi’I : menerimanya
apabila dalam ke adaan udzur misalnya, seorang musafir atau yang sakit
diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at dan di perbolehkan menggantinya dengan
shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus
dilakukan secara diam-diam, agar tidak di tuduh sengaja meninggalkan shalat
jum’at.
hanafiyah,
syafi’iyah: menerima sad adz-dzari’ah
apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau
sekurang-kurangnya kemungkinan besar akan terjadi.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan
sadd adz-dzari’ah adalah kehati-hatian
dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mufsadat.
Apabila mafsadat lebih dominan maka boleh dilakukan dan sebaliknya maka harus
ditinggalkan. Dan jika sama-sama kuat antara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian
maka harus diambil prinsip yang berlaku yaitu sebagaimana dirumuskan dalam dua
kaidah dibawah ini:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مقدم
على جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Artinya:” menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.”
اذا اجتمع الحلال و الحرام غلب
الحرام
Arinya : “bila berbaur yang harom dan yang halal, maka yang haram mengalahkan
yang halal”
Ø
Alasan-alasan
penentang
Ulama hanafiyah, syafi’iyah dan
syi’ah menolak sad adz-dzari’ah dalam
masalah-masalah tertentu saja, misalnya: laki-laki yang menikah dengan seorang
perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa
kembali pada suami yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena tidak tidak
dibenarkan secara syara’. Contoh lain, seorang muslim mencaci maki sesembahan
orang maka orang musyrik tersebuat akan mencaci Allah, maka perbuatan seperti
itu dilarang.
Ulama’ yang menolak sadd
adz-dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah.
penolakan
kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu
Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan
perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga
dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan
bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan
warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu
Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan
adalah sesuatu yang halal.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu
yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun
agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara
substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap
dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan
itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut
sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu
halal.[8]
E.
Unsur-unsur Saddu Dzari’ah
1. Sadd
2. Dzari’ah,
hukumnya ada 2, yaitu boleh berdasarkan nash, dan tidak boleh karena
menghindari kemafsadatan.
3. Mafsadat
4. Ghoyah(tujuan)
F.
Contoh-contoh Saddu Dzari’ah
Dalam
kitab سد ا لذا رييعه dikatakan bahwa” apakah didalam بيع dan نكا ح terdapat
سد ا لذا رييعه ?”
tidak pasti”. Apabila niat sebelum dan sesudah akad itu baik, maka tidak هakan merusak akad tersebut,
sebaliknya apabila niat sebelum dan sesudahnya itu tidak ditempatkan pada
tempatnya maka niat tersebut akan merusak akad yang dilakukan. Imam syafi’I
berkata: apabila tidak ada niat yang merusak
بيع dan نكا ح maka tidak akan rusak keduanya, karna عقد yang
dilakukan adalah benar. Contoh lain adalah Ada perbuatan yang dilarang
secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang
secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang
dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum
khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan
mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu
membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang..
Dengan menetapkan hukumnya, sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka
tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan yang
dilarang.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sadd adz-dzari’ah (menutup sarana). Yang dimaksud dengan adz-dzari’ah
dalam ushul fiqh ialah sesuatu yang
menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. Jika terdapat sesuatu
sebagai sarana kepada yang diharamkan, maka sarana tersebut harus ditutup atau
dicegah. Inilah yang disebut dengan Sadd adz-dzari’ah . Sedangkan kebalikannya
adalah Fath adz-dzari’ah , yakni membuka berbagai sarana yang mendekatkan
kepada sesuatu yang hal dan membawa kepada kemaslahatan.
Imam Malik dan Imam Ahmad menempatkan
Sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil hukum. Sedangkan Imam al-Syafi’i (menurut salah satu interpretasi), Imam
Abu Hanifah, dan Madzhab Syiah menerapkannya pada kondisi-kondisi tertentu.
Adapun Madzhab Zhahiri men olaknya secara tegas dan totaliter.
Inilah yang di maksud
dengan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Setiap sesuatu yang dapat menyempurnakan
terlaksananya kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya
wajib pula”.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibn Taimiyyah, Saddu
al- Dzarai, Daru al fadilah, Riyadh,
1420.
Thahir al Naifir
Muhammad, Usul al Fiqh, Darbu Salamah, Tunesia.
Bakar Ismail Khabib
Muhammd, Maqosidu asy-Syar’iyah al Islamiyyah Ta’silan Wa Taf’ilan, Daru
Thoibah Khodro’, Makkah Mukarromah, 1427.
Abu Zahrah,
Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al- Fikr, Damaskus.
At-Toyyib
as-Sanusi ahmad, al-Istiqraa’, Daaru at-Tadmuriyyah.
[1] Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu
dzarai’,(Riyad;Daru al Fadilah), 26.
[2] Muhammad
Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.
[3] Muhammad
Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar
Thoibah al-Khadlro’),49.
[4]
Ibid.,47.
[5] Ibid.
[6] Muhammad
Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.
[7] Muhammad
Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar
Thoibah al-Khadlro)’48.
[9] Ibid.,72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar