Minggu, 25 November 2012

SUMPAH LI'AN



BAB I
P E N D A H U L U A N
A.    Latarbelakang
Akad nikah dalam Islam tidak untuk jangka waktu tertentu, tetapi untuk selama hayat dikandung badan. Baik suami maupun isteri, harus berusaha memelihara rumah tangga yang tenang penuh kedamaian lahir batin serta menciptakan taman yang permai, tempat tubuhnya generasi yang berbudi penerus dari orang tuanya.
Karena itu, hubungan suami isteri itu sangat suci dan terhormat, kuat ikatannya, dan tinggi nilainya sesuai dengan tinggi nilai manusia itu sendiri.
Hubungan antarmanusia, apalagi dalam kehidupan rumah tangga, tidak semudah apa yang dibayangkan, ia bukan angka-angka yang dapat dihitung atau diperidiksi. Membangun rumah tangga bukan seperti membangun rumah. Perbedaan pendapat bahkan percekcokan pasti ada dan terjadi.
Islam telah banyak mengatur perihal berbagai lini kehidupan umat manusia, sehingga tidak salah disebut sebagai agama yang komprehensif dengan ajarannya yang bersifat sholihun fii kulli makan wa zaman. Termasuk juga didalamnya mengatur tentang bagaimana menangani setiap permasalahan dalam suatu keluarga.
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran dalam menyelesaikan beberapa permasalahan, pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga akan berakibat hukum Islam dianggap tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mengupas lebih dalam terkait dengan masalah sumpah li’an yang terkandung dibalik hukum keluarga Islam yang telah diatur berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga para pembaca dapat memahami hikmah-hikmah tersebut, dan kemudian dapat berhujjah atas hukum Islam sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahn kelurga, tidak hanya keluarga Islam saja, tetapi bagi umat manusia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah penjelasan surat an-Nur ayat 6?
2.      Bagaimanakah penjelasan kata dan analisis lafadnya?
3.      Bagaimnakah hadis dan ayat pendukung?
4.      Bagaimanakah asbabun nuzulnya?
5.      Bagaimanakah munasabah  ayat surat an-Nur ayat 6?
6.      Bagaimanakah hukum yang terkandung dalam ayat tersebut?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui penjelasan surat an-Nur ayat 6
2.      Untuk mengetahui penjelasan kata dan analisis lafad.
3.      Untuk mengetahui hadis dan ayat pendukung.
4.      Untuk mengetahui asbabun nuzulnya.
5.      Untuk mengetahui munasabah ayat tersebut.
6.      Untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam ayat tersebut



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penjelasan Ayat
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”(QS. An-Nur: 6)
     
B.     Penjelasan Kata dan Analisis Lafadh
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُم: mereka (para suami) yang menuduh istri-istri mereka berbuat zina, seperti berkata dengan “dia telah berzina”, atau kandungan yang ada dalam perut istrinya bukan darinya.
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ: maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah.
إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ: sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar terhadap tuduhanya itu bahwa istrinya telah berbuat zina,[1]
Analisis Lafadh
Sudah jelas diterangkan betapa beratnya hukum yang harus ditimpakan kepada orang yang kedapatan oleh empat saksi atau meng¬akui terus-terang, bahwa dia berzina. Dan sudah jelas pula bagaimana beratnya hukuman bagi orang yang berani menuduh perempuan baik-baik melakukan zina.
"Kalau dia dapat mengemukakan empat saksi yang jelas melihat laksana pisau dimasukkan ke sarungnya lalu dia melancarkan tuduhan juga , maka hukuman beratlah yang akan diterimanya, akan dipukuli badannya dengan cemeti 80 kali.
Cobalah renungkan betapa coraknya masyarakat Islam itu. Yaitu masya¬rakat yang tinggi mutunya, tidak mengorek-ngorek kesalahan orang dan tidak membuka rahasia orang. Bersopan-santun. Tidak ada dalam majlisnya perkataan yang hina dan rendah dan tidak bertanggungjawab. Yang satu menjaga kehormatan yang lain , atau satu rumah tangga yang lain. Kalau orang membi¬carakan suatu soal dalam majlisnya , isi pembicaraan hanyalah hasil ketinggian budi , bukan , merunyut budi turun ke bawah.
Pangkalan masyarakat Islam itu ialah rumahtangga yang bahagia, rukun damai suami-isteri. Dari rumahtangga yang rukun damai itulah akan keluar kelaknya anak-anak yang berbakti, yang akan menyambung terus tugas hidup orang tuinya. Membentuk rumahtangga pun bukanlah perkara yang mudah, percobaan-percobaan atasnya pun amat banyak pula.Tiang dan sendinya ialah percaya-mempercayai dan harga menghargakan . Hormat-menghormati dan mulia-memuliakan. Kesetiaan dan menjaga perasaan. Si isteri menumpah¬kan kasih kepada suami. Si suami menumpahkan percaya kepada isteri.
Orang laki-laki hendaknya tidak bermata ke belakang ketika dia harus keluar rumah mencari rezeki untuk sandang dan pangan. Rasa cemburu dari kedua belah pihak akan menjadikan rumah tangga laksana neraka , laksana telur di ujung tanduk. Oleh sebab itu Rasulullah s.a.w. mengajarkan , jika seorang laki-laki kembali dari perjalanannya yang jauh pada larut malam, sebaiknya dia tidur di luar rumah saja, jangan mengganggu isterinya.sedang enak tidur. Atau, kalau kita menyebut yang buruk, mana tahu, entah si isteri itu telah berlaku curang, sehingga pada waktu itu dia sedang tidur dengan laki-laki lain , jangan sampai menyinggung perasaan kita. Niscaya kita sebagai laki-laki yang tahu harga diri, yang mempunyai syaraf , tidak akan membiarkan hal itu. Niscaya kita akan membayar kontan keadaan itu , kita sentak pisau dan bunuh keduanya pada waktu itu juga , habis perkara.
Menurut riwayat tarikh, seketika Saiyidina Umar bin Khathab menjadi Khalifah, sedang beliau duduk dihadapi oleh orang-orang besar Islam, tiba-tiba datanglah seorang pemuda dengan pedang tersentak ke hadapan majlis beliau, clan pedang itu berlumur darah. Lalu orang itu menceritakan dengan nafas sesak, bahwa pedangnya berlumur darah karena telah menikam isterinya sendiri yang sedang kedapatan seketiduran dengan laki-laki lain. Keduanya mati ditikamnya.
Harga diri seorang laki-laki dalam saat seperti demikian, harus ditunjukkan. Kalau tidak begitu adalah Dayyuts namanya. Hina kejatuhan derajat.Tetapi sikap yang demikian hanya boleh berlaku pada saat yang tidak ada jalan lain lagi. Sebagai seorang manusia beradab lebih baik kita mengelakkan jangan kejadian. Lebih baik supaya hati jangan luka, kalau perlu jika pulang tengah malam, jangan langsung ke rumah. Tidur saja di tempat lain, misalnya di mesjid.
Sekarang timbullah soal keraguan seorang suami terhadap keadaan isteri¬nya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan ayat 6 (sampai ayat 10) Surat an-Nur ini. Kalau seorang laki-laki mengetahui isterinya berbuat zina , dan dia:me¬ngadukan halnya itu kepada hakim , padahal saksi-saksi tidak ada, dia sendiri boleh mengemukakan empat kali kesaksian.
Bolehlah susun kata tuduhan itu demikian bunyinya: "Dengan ini saya si fulan anak si fulan menuduh isteri saya nama si anu telah berbuat zina dengan si anu. Di atas nama Allah saya ber¬sumpah bahwa keterangan yang saya berikan ini adalah benar." Perkataan ini diulangnya sampai empat kali.
Sebagai ucapan yang kelima disambungkan lagi: "Dan laknat kutuk : Tuhan Allah biarlah menimpa diri saya sendiri jika keterangan saya itu dusta."
Pada saat itu si perempuan tidaklah langsung dirajam atau didera (dipukul dengan cemeti), tetapi dia diberi kesempatan pula untuk membela dirinya. Yaitu apabila dia menangkis serangan itu dengan kata-kata seumpama: "Saya naik saksi pula di hadapan Allah, bahwasanya suami saya itu adalah bercakap dusta." Dijelaskannya perkataan itu sampai empat kali.
Dan kelima, sebagai penutup kata hendaklah diiringinya: "Dan biarlah kemurkaan Allah menimpa atas diri saya kalau suami saya itu berkuta benar."
Hal yang seperti ini bisa kejadian. Karena kalau sekiranya perempuan itu bunting, sedang suaminya sendiri merasa ragu-ragu, bahkan merasa tidak yakin bahwa anak yang dalem kandungan perempuan itu adalah anaknya sendiri yang akan me nyambung keturunannya yang akan menerima warisan pusaka¬nya jika dia meninggal , sedang saksi yang mengetahui sampai empat orang bahwa perempuan itu berzina , tidak ada , adalah amat berat bagi laki-laki itu.
Dia dilarang menuduh isterinya berzina kalau tidak ada empat orang saksi , sedang dia pun bebas buat tidak mengakui anak yang dalam.kandungan itu, yang akan dijadikan tanggung jawabnya.Padahal ini adalah soal keturunan, soal darah. Seorang ayah berhak buat meyakini bahwa anak yang dalam kandungan itu adalah sah anaknya sendiri.
Tetapi si perempuan berhak pula mempertahankan dirinya. kalau hanya tuduhan , meskipun telah dituduhkan sampai empat kali, dan telah dikeluarkan pula dengan kesediaan menerima kutuk laknak Allah' kalau dia berdusta: Namun derajat kesaksian demikian tidaklah sama dengan empat orang saksi yang menyaksikan dengan jelas. Karena betapa pun seorang mempertahankan diri dengan seribu sumpah misalnya, kalau ada saksi-saksi menyaksikan ber-empat, namun sumpah itu tidak berlaku lagi. Sumpah bisa dipandang sumpah palsu, kalau bukti cukup. Oleh sebab itu maka si perempuan boleh memper¬tahankan diri dan menolak pula dengan empat kali tolakan segala tuduhan suaminya, pada kata kelima dikuatkannya pula dengan sumpah bahwa dia ber¬sedia pula menerima murka dan kutuk laknat Allah kalau apa yang dituduhkan suaminya itu benar adanya.
Seketika itu hakim hendaklah mengambil keputusan yang tepat. Kalau suami-isteri ini wajib dipisahkan, tegasnya bercerai atas kehendak hakim. Jika anak itu lahir kelak, tidaklah boleh dia disebut anak dari suami yang menuduh itu, dan segala kewajiban suami terhadap isteri putuslah sudah sejak masa itu.
Kalau selama ini si perempuan tinggal di rumah yang disediakan suaminya, mulai hakim melancarkan keputusannya, perempuan itu tidak dalam tanggungan bekas suaminya lagi. Tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya, tidaklah dapat lagi dijangkau oleh hukum yang diatur manusia, sebab sudah terserah kepada hukum Allah Ta'ala.         
C.    Hadis dan Ayat Pendukung
Hadis
 عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( سَأَلَ فُلَانٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَرَأَيْتَ أَنْ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا اِمْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ, كَيْفَ يَصْنَعُ? إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ, وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ! فَلَمْ يُجِبْهُ, فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ, فَقَالَ: إِنَّ اَلَّذِي سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدِ ابْتُلِيتُ بِهِ, فَأَنْزَلَ اَللَّهُ اَلْآيَاتِ فِي سُورَةِ اَلنُّورِ, فَتَلَاهُنَّ عَلَيْهِ وَوَعَظَهُ وَذَكَّرَهُ، وَأَخْبَرَهُ أَنَّ عَذَابَ اَلدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اَلْآخِرَةِ. قَالَ: لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا, ثُمَّ دَعَاهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَوَعَظَهَا كَذَلِكَ, قَالَتْ: لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّهُ لَكَاذِبٌ, فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ, فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ, ثُمَّ ثَنَّى بِالْمَرْأَةِ, ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا )
“Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Si fulan bertanya: Dia berkata, wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapat baginda jika ada salah seorang di antara kami mendapati istri dalam suatu kejahatan, apa yang harus diperbuat? Jika ia menceritakan berarti ia telah menceritakan sesuatu yang besar dan jika ia diam berarti ia telah mendiamkan sesuatu yang besar. Namun beliau tidak menjawab. Setelah itu orang tersebut menghadap kembali dan berkata: Sesungguhnya yang telah aku tanyakan pada baginda dahulu telah menimpaku. Lalu Allah menurunkan ayat-ayat dalam surat an-nuur (ayat 6-9). beliau membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya, memberinya nasehat, mengingatkannya dan memberitahukan kepadanya bahwa adzab dunia itu lebih ringan daripada adzab akhirat. Orang itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak berbohong. Kemudian beliau memanggil istrinya dan menasehatinya juga. Istri itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, dia (suaminya) itu betul-betul pembohong. Maka beliau mulai memerintahkan laki-laki itu bersumpah empat kali dengan nama Allah, lalu menyuruh istrinya (bersumpah seperti suaminya). Kemudian beliau menceraikan keduanya.”[2]
Ayat al-Qur’an Surat an-Nur ayat 4
 وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”[3]


D.    Asbabun Nuzul
      Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dihadapan Nabi Saw. Hilal bin Umayah menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Sahma’. Nabi Saw. Bersabda kepadanya, keluarkan saksi! Kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had.” Ia berkata,” Rosulullah, kalau salah seorang dari kami melihat lelaki lain bersama istrinya, apa tidak, kamu harus menerima hukuman had.”
      Hilal pun berkata,”Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya berkata apa adanya. Semoga Allah menurunkan ayat yang membebaskan punggung saya dari hukuman had.” Maka Jibril turun membawa firman Allah,”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar.”[4]
E.     Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya, surat an-Nur: 4-5,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ayat sesudahnya, surat an-Nur: 7
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
      Penjelasan
والذين يرمون ازواجهم ayat ini apabila dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, maka hubungan dengan ayat sebelumnya yakni ayat empat dan ayat lima yakni:
والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولاتقبلوا لهم شهادة ابدا والئك هم الفاسقون
الاالذين تابوا من ذالك واصلحوا فان الله غفور الرحيم
Apabila dikaitkan dengan ayat enam, yang menjadi pokok bahasan adalah lafadz yang berlabel kuning tersebut. Pertama, jelas pada ayat ke empat tersebut adalah seorang yang “menuduh wanita-wanita baik berzina” dan dia (yang menuduh) “tidak mempunyai empat saksi”  kedua, ayat ini masih bersifat umum. Ketiga, ayat kelima mempertegas Allah mengampuni bagi orang yang bertaubat.  Apabila dikaitkan dengan ayat enam, maka hasilnya adalah pada ayat enam dituliskan والذين يرمون ازواجهم (menuduh istrinya berzina) dan bersifat khusus, lafadz selanjutnya
الا انفسهم فشهادة احدهم اربع شهادات با لله انه لمن الصادقين ولم يكن لهم شهداء dalam ayat ini sudah sangat jelas “dia tidak mendatangkan saksi  dan dia ( yang menuduh) cukup dengan empat kali persaksian dengan bersumpah kepada Allah SWT, maka dia dianggap benar. Kemudian hunungan ayat selanjutnya yakni ayat ketujuh yang berbunyi والخامسة ان لعنة الله عليه ان كان من الكاذيبن lafadz ini mempertegas bahwa apabila sipenuduh bersumpah lima kali, maka la’nat Allah lah yang dia terima, karena orang tersebut sudah dianggap berdusta, karena mempermainkan hukum Allah yakni hukum kemudahan pada pada ayat ke enam.

F.     Hukum yang Terkandung
Setelah menjelaskan mengenai hukuman tuduhan, secara umum menuduh orang yang baik-baik berzina, baik laki-laki maupun perempua. Lalu Allah menjelaskan hukum tuduhan yang khusus, yaitu seorang suami yang menuduh istrinya berzina, Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina” dengan melakukan perbuatan keji, “ Padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi” kecuali diri mereka sendiri yakni sipenuduh saja, maka dia bersumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah sebagai pengganti dari empat orang saksi yang tidak ada denagn mengucapkan “ Saya bersaksi dengan nama Allah , sesungguhnya saya telah melihat dia berzina atau telah berzina” atau “ Anak yang dalam kandungan ini bukan anakku “ kemudian dia (suami) melaknat dan berkata pada sumpahnya yang kelima, “bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta” yaitu terhadap apa yang dia tuduhkan kepada istrinya. Lalu ditawarkan kepada si istri untuk mengakui apa yang dituduhkan oleh suaminya kemudian ditegakkan atasnya hukuman yaitu rajam.
 Atau si istri bersumpah sebanyak empat kali sumpah dengan nama Allah bahwasanya dia tidak berzina, kemudian pada sumpahnya yang kelima dia mendo’akan dirinya dengan murka Allah dengan ucapan “bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang benar” terhadap apa yang dituduhkan suaminya kepada dia. Dan dengan itu dia terhindar dari azab yang merupakan hukuman, kemudian keduanya dipisahkan tidak boleh berkumpul selamanya. “Dan andai kata tidak ada karunia Allah dan rahmatnya atas dirimu” jawaban dari lafadz Law laa “Andai kata Tidak” adalah Mahdzuf (dibuang) maka takdirnya “Pasti Allah akan menyegerakan bagi kalian dengan hukuman dan pasti akan membuka aib salah seorang dari keduanya yang berdusta . akan tetapi Allah maha menerima Taubat dan bijaksana sehingga Allah tutupi atas kalian agar bertaubat, orang yang mau bertaubat diantara kalian dan akan merahmati kalian dengan syari’at yang adil lagi bijaksana.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum yang terkandung dalam kandungan surat an-Nur: 6 yaitu:
1.      Penjelasan mengenai hukuman bagi seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina dan baginya tidak memiliki empat orang saksi yang menguatkan persaksiannya, inilah yang disebut dengan Li’an.
2.      Penjelasan mengenai tatacara li’an, dan ini mengharuskan untuk ditegakkan hukuman, jika sang istri tiodak mau menerima tuduhan itu, yaitu bersumpah sebanyak empat kali sumpah, dan pada sumpah yang kelima, dia mendo’akan dirinya dengan mengatakan “ Bahwa laknat Allah SWT atasnya (istri) jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.
3.      Disyari’atkannya li’an merupakan salah satu gambaran tentang kebaikan syari’at islam dan kesempurnaannya. Dan hukum seperti ini tidak akan kecuali dengan wahyu Allah SWT kepada Rasulullah. Dan didalamnya terdapat petunjuk penetapan kenabian Muhammad SAW.[6]

BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jika seorang suami menuduh istrinya berbuat zina dan dia tidak dapat menghadirkan saksi, maka untuk menghindarkan dirinya dari hukuman hadd dilakukan li’an, yiatu laki-laki itu mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan menyatakan bahwa dia adalah seorang yang benar. Sumpah yang kelima dikatakannya,”kutukan Allah atasku jika aku bukan seorang yang benar.”
Kemudian si istri yang tertuduh melakukan zina, jika memang dia tidak melakukannya, maka untuk membela dirinya, dia boleh mengucapkan empat kali sumpah dengan menyatakan bahwa ia adalah orang yang benar. Sumpah yang kelima dikatakanya,”murka Allah atasku jika aku bukan seorang yang benar”. 
Jika pihak suami menentang keterangan perempuan dan mengatakan bahwa anak dari perempuan itu bukanlah anak darinya, melainkan anak yang berasal dari orang lain, maka penolakan itu hendaklah dikatakan dengan sumpah. Dengan demikian putuslah hubungan hubungan turunan anak itu darinya dan tidak dibangsakan kepadanya lagi melainkan hanya kepada ibu anak itu saja.[7]

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir al-Jazari, Abu Bakar. Tafsir al-Aisar. Jakarta: Darus  Sunnah Pres. 2008.
Al-Asqalany, Imam Ibnu Hajar. Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam. Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayah.  2008.
Ibnu Rusd,Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV.Asy-Syifa’.
As-Suyuti, Jalaluddin. Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul. Depok: Gema Insani. 2008.
Abdul Halim Hasan, Abdul. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana. 2006.



[1] Abu Bakar Jabir al-Jazari, Tafsir al-Aisar, (Jakarta: Darus  Sunnah Pres, 2008), 117.
[2] Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam (Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayah, 2008).


[3] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid (Semarang: CV.Asy-Syifa’), 601.
[4] Jalaluddin as-Suyuti, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul (Depok: Gema Insani, 2008), 390.
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, (Jakarta:Darus Sunnah,2008) hal. 118-119
[6] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazair, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, (Jakarta:Darus Sunnah,2008) hal.119-120
[7] Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), 536.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar