BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
Kata peminangan berasal dari
kata”pinang, meminang”. Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa
arab disebut”khitbah”. Menurut etimologi meminang atau melamar adalah
meminta wanita untuk dijadikan istri. Menurut terminologi peminangan ialah
kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum yang berlaku
ditengah-ditengah masyarakat.
B. Tata Cara Mengkhitbah
Seseorang melakukan khitbah bisa
dengan dua cara: Bisa dengan Bahasa yang Jelas (Sarih) atau bisa dengan bahasa Kiasan
(Ta’ridhan). Bahasa yang Jelas (Sarih) adalah lafadz yang tidak mengandung dari
selain lafadz nikah Seperti : Saya ingin menikahi kamu”atau “ Saya meminta kamu
untuk menjadi istri saya”. Sedangkan bahasa kiasan adalah bahasa sindiran yang
secara tidak langsung mengajak untuk menikah, seperti “ Sesungguhnya
engkau termasuk orang yang mulia” atau “ Hati saya ini sudah tertambt dalam
diri engkau” dll. Hal ini dilakukan kepada
wanita-wanita yang didalam ‘iddah kematian suami mereka atau karna talak ba’in
berdasarkan ayat al-Qur’an dari surah al-Baqarah ayat 235,Allah telah
berfirman: dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan(keinginanmu) dalam hati.
C. Syarat-syarat Perempuan yang Boleh Dipinang:
Ø Tidak dalam pinangan orang lain,
Ø Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada
penghalang syarak yang melarang dilangsungkanya pernikahan,misalnya perempuan
yang bersuami, wanita yang haram dinikahi dalam waktu tertentu atau selamanya.
Ø Perempuan itu tidak dalam masa idah
kerena talak raj’i
Ø Apabila perempuan dalam masa idah karena
talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirri.[1]
D. Melihat Wanita yang Dilamar
Untuk
kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan dan kesenanganya,
seyogyanya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia
dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan. Dalam agama
islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam
batas-batas tertentu, dan dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat
diantara ulama. Diantara yang menguatkan atas hal itu adalah firman Allah
ta’ala dalam surat ak-Ahzab:52:
لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ
وَلَاأَنْ تَبَدَّ لَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan
sesudah itu dan tidak boleh(pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang
lain), meskipun kecantikanya menarik hatimu.”(Q.S.Al-Ahzab:52)[2]
Dari Mughirah bin syu’ban, ia meminang seorang
perempuan, lalu Rosulullah Saw.bertanya kepadanya: sudahkah kau lihat dia? Ia
menjawab: belum. Sabda nabi: lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa
hidup barsama lebih langgeng.(H.R. Nasa’I, Ibnu
Majah, dan Tirmidzi).[3]
Mengenai bagian badan wanita yang
boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya
membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain(seperti
Abu Daud al-Dhahiri) membolehkan melihat
seluruh badan, kecuali dua kemaluan, sementara fuqaha yang lain lagi
melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat
dua telapak tangan, muka, dan dua telapak kaki.
Silang pendapat ini disebabkan
karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak,
terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat
terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat
mayoritas ulama’berkenaan dengan firman Allah:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتُهُنُّ
اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah(kaum
wanita)menampakan perhiasanya, kecuali yang(biasa) tampak daripadanya(Q.S.An-Nur[24]:31)
Maksud”perhiasan yang biasa tampak
daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan. Disamping itu juga diqiyaskan
dengan kebolehan membuka muka dan dua telapak tangan pada waktu berhaji, oleh
kebanyakan fuqaha.
Berdasarkan salah satu riwayat dari
Abu Razaq dan Said bin Mansur, Umar pernah pernah meminang putrid Ali yang
bernama Ummu Kulsum. Ketika itu Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil.
Kemudian Ali berkata lagi:”nanti akan saya suruh dating lagi Ummu Kulsum itu
kepadamu, bilamana engkau suka, engkau dapat menjadikannya sebagai calon istri.
“Setelah ummu kulsum datangn kepada umar, lalu umar membuka pahanya, serentak
ummu kulsum berkata:”seandainya tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya
colok kedua mata tuan.
Bilamana seorang laki-laki melihat
bahwa pinanganya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan
mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang
tidak disenanginya itu akan disenangi orang lain.[4]
Kesimpulan tentang batas yang
diperbolehkan bagi peminang ketika melihat wanita yang dipinangnya,”bahwasanya
bila seorang pria ingin meminang seorang wanita maka wanita tersebut harus
memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangannya, sebagaimana dikatakan oleh
jumhur ulama. Adapun jika dia melihat dengan cara mengintip, maka ia boleh
melihat bagian manapun dari wanita yang dipinangnya yang akan membuatnya kian
termotivasi untuk menikahinya.[5]
E. Meminang Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain itu
hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang
pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman. Hukum
tersebut berdasarkan sabda nabi Saw:
المُؤْ مِنُ أَخُوْ المُؤْمِنُ
فَلَا يَحِلُّ لَهُ اَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيْهِ حَتَّى يَدْ رِىْ
“Orang mukmin dengan mukmin adalah
bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya,
dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia meniggalkanya.” (H.R.Ahmad
dan Muslim)
لاَ يَخْطُبُ الّرجل على
خطبة أخيهه حتى ينكح أَو يتركَ
“Seorang lelaki tidak boleh melamar
wanita yang telah dilamar saudaranya, sampai dia menikahi atau meninggalkanya.”(H.R.Bukhori
dan Muslim)
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu
telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan
mengizinkanya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi kalau pinangan semua
ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua
belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau laki-laki pertama mengizinkan
laki-laki kedua untuk meminangnya maka yang demikian itu diperbolehkan.
Jika pinangan laki-laki pertama
sudah diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua
kemudian menikah denganya, maka hukumnya berdosa, tetapi pernikahanya tetap
sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan
salah satu syarat sah nikah. Karena itu pernikahannya tidak boleh dibatalkan
walaupun peminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Imam Abu Daud
berkata”pernikahanya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah
maupun sebelum persetubuhan.” [6]
F. Hukum Khitbah
Memang
terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang
mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa
tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk
menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan
hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun
sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad
nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga
sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan
masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
Khitbah, melamar tidaklah termasuk syarat sah nikah. Artinya,
seseorang boleh langsung menikah tanpa
melamar atau meminang terlebih dahulu. Hanya saja, umumnya meminang merupakan
salah satu cara untuk segera menikahi si isteri. Menurut Jumhur ulama, meminang
hukumnya jaiz (boleh). Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam
(surat al-Baqarah ayat 235)
Sedangkan
menurut Syafi'iyyah, meminang itu hukumnya Sunnah karena Rasulullah Saw
melakukannya ketika beliau meminang Siti Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah
binti Umar bin Khatab.
Rosulullah Saw bersabda:
اذاخطب أحدكم امرأة فقد رأن يري بعض ما
يدعوه الى نكا حها,فليفعل
“jika salah seorang kalian melamar seorang
wanita, sedangkan ia diberi kemampuan untuk melihat sebagian dari apa-apa yang
menarik dirinya untuk menikahinya, hendaklah ia lakukan itu.”(H.R.Ahmad dan
Daud)
G. Konsekuensi Pembatalan Khitbah
Memang
sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil
sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang
kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali
pertunangan hingga pudar.
Ulama'
berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh,
sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin
hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan
ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari
pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal
adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda
ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana sikap ulama'
menanggapi masalah ini?
Meskipun Islam mengajarkan bahwa
memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang
terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk
memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau
mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan
akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban
termasuk hak khiyar.
Berbeda
halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.
Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.
Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah
yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak
perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau
mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada
pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung
tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan)
menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami
membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan
mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh
di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a.
Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan
bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik
pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari
mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah
menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b.
Madzhab Hanafiah mengatakan jika
hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh
menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah
pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah,
menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa
atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima
dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah
menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan
apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat
kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
H. Status Benda yang Diberikan Ketika
Khitbah Menurut Pendapat Ahli Fiqh
Meminang
adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Kadang-kadang orang
yang meminang memberikan mahar, seluruhnya atau sebahagian, ada juga yang
memberikan hadiah-hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan
baru antara peminang dengan pinangannya. Tetapi harus diingat bahwa semua
perkara adalah wewenang Allah. Dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat :
Ø Madzhab HANAFI
: Berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada
perempuan pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh.
Ø Madzhab
MALIKI : Berpendapat bahwa apabila pembatalan itu datang dari pihak calon suami
maka barang-barang yang pernah ia berikan tidak boleh ia minta kembali, baik
pemberian itu masih utuh atau berubah.
Ø Madzhab
SYAFI’I : Berpendapat bahwa hadiah harus dikembalikan kepada peminang baik
pemberian itu masih utuh ataupun sudah berubah baik pembatalan itu datang dari
pihak laki-laki maupun perempuan. [7]
I. Hukum Orang Sholeh yang Meminang Wanita
yang Sudah dipinang oleh Orang yang Fasiq
Amir ash-Shan’ani dalam kitab
Subulus Salam mengatakan,
“Bolehkah seorang yang shaleh meminang wanita yang
sudah dipinang oleh orang yang fasiq? Menurut Amir al-Husain dalam kitabnya
Asy-Syifa’, hal itu boleh. Ia mengutip pendapat ini dari Ibnul Qosim teman Imam
Malik. Dan Ibnul Arabi juga cenderung pada pendapat ini. Tetapi dengan syarat
wanita yang dipinag ialah wanita yang terhormat, dan orang fasiq yang telah
meminangnya tidak kufu atau tidak setara baginya.”
J. Hukum Orang yang Tidak Munkin Bisa
Melihat Wanita yang Dipinangnya dengan Alasan Ada Kepentingan
Syaikhuna al-Alamah DR. Ibrahim
al-Hafnawi mengatakan:
“Jika karena suatu alasan tertentu,
seorang lelaki tidak munkin bisa melihat wanita yang hendak dipinangnya, ia
boleh menyuruh seorang wanita yang hendak dipinangnya, ia boleh menyuruh
seorang wanita yang ia percaya untuk melihat calon istrinya kemudian wanita itu
memberitahukan kepadanya tentang cirri-ciri wanita yang telah dilihatnya itu.”
K. Hukum Seorang Lelaki
Melihat/memperhatikan Berkali-kali Terhadap Wanita yang Dipinang
Al-Khatib asy-Syarbani asy-asy Syafi’I mengatakan :
Boleh hukumnya seorang lelaki
melihat/memperhatikan berkali-kali wanita yang dipinangnya jika hal itu memang
diperlukan, untuk mengetahui dengan jelas keadaanya, supaya tidak timbul
penyesalan dikemudian hari setelah menikah. Pokok persoalanya ialah alasan
kebutuhan. Jadi tidak terikat maksimal harus tiga kali misalnya, baik hal itu
disertai dengan syahwat atau tidak, seperti yang dikatakan oleh Imam Haramain
al-Juwaini Rahimahullah dan Imam ar-Rauyani. Tetapi menurut al-Auza’I jika
disertai dengan syahwat, maka hal itu harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
An-Nawawi mengatakan:
“Boleh hukumnya ia memperhatikan
calon istrinya berkali-kali untuk mengenali keadaannya dengan jelas sehingga ia
merasa tertarik untuk menikahinya, supaya tidak timbul rasa penyesalan
dikemudian hari setelah menikah.”[8]
L. Meminang Perempuan yang Sedang Dalam
Masa Idah
Meminang mantan istri orang lain
yang sedang dalam masa idah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’I
maupun talak ba’in, maka hukumnya haram.
Jika perempuan yang sedang idah
karena talak raj’I, ia haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan
suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia
suka.
Jika perempuan yang sedang idah
karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan
suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya juga masih mempunyai hak
untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya dimasa
idahnya berarti ia melanggar hak mantan suaminya.
Dalam hal boleh
atau tidaknya meminang perempuan yang sedang idah secara sindiran, kalangan
ahli fiqh berbeda pendapat. Pendapat yang benar menyatakan boleh. Perempuan
yang sedang idah karena kematian suaminya boleh dipinang secara sindiran selama
masa idah, karena hubungan suami istri disini telah terputus sehingga hak suami
terhadap istrinya hilang sama sekali. Meskipun demikian, pinangan yang diajukan
kepada perempuan tersebut hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai
mencemarkan namanya dimata tetangga atau kerabatnya. Firman Allah dalam surat
al-Baqarah[2]:235
ولا جنا ح عليكم
فيما عرضتم به من خطبة النساء أوأكننتم فى أنفسكم علم الله أنكم ستذ كرونهن ولكن
لا تواعد وهن سرا
إلا أن تقولوا قولا معروفا ولا تعزموا
عقدة النكا ح حتى يبلغ الكتب أجله واعلمواأن الله يعلم ما
فى أنفسكم فاحذروه
“Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan(keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlag kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan(kepada mereka)
perkataan yang ma’ruf dan jangan lah kamu berazam(bertetap hati) untuk berakad
nikah sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu., maka takutlah kepadaNya.”
Maksud perempuan-perempuan disini
adalah perempuan yang sedang dalam masa idah karena kematian suaminya, sebab
yang dibicarakan dalam ayat diatas adalah soal kematian. Sedangkan maksud dari
kata sindiran adalah seseorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya berlainan
dengan yang tersiratnya. Misalnya:saya ingin menikah, atau saya mengharapkan
sekali agar Allah memudahkan jalan bagi ku untuk memperoleh istri yang
sholehah. Termasuk dalam katagori meminang dengan sindiran adalah memberikan
hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa idah, atau laki-laki itu menguji
dirinya dengan menyebutnya jasad baiknya sebagai cara meminang dengan sindiran.
Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain.
Rosulullah sendiri pernah masuk
kerumah Ummu Salamah ketika masa idah karena kematian Abu Salamah. Beliau
bersabda kepadanya:
ولقد علمت انى رسول الله
وخيرته وموضعى فى قومى (رواه الدار قطنى)
“Tentu engkau sudah tau bahwa aku ini
seorang rosul dan terbaik, serta betapa mulianya kedudukan dikalangan
bangsaku.”(H.R.Daruquthni)
Dari urain diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain
ketika masa idahnya adalah haram. Kalau meminang dengan sindiran kepada
perempuan yang sedang idah karena talak ba’in atau talak mati itu boleh, maka
pinangan kepada perempuan yang sedang idah karena talak raj’I hukumnya adalah
haram.
Bagaimana hukumnya meminang secara
terang-terangan kepada perempuan yang sedang idah, tetapi pelaksanaan akad
nikahnya sesudah idahnya habis, dalam hal ini para ulama’fiqh berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik akad nikahnya
sah tetapi meminangnya secara terang-terangan itu haram, karena antara meminang
dan akad nikah itu berlainan. Tetapi bilamana akad nikahnya terjadi pada masa
idah, maka para ulama’sepakat harus dibatalkan, sekalipun antara mereka berdua
telah terjadi persetubuhan. Apakah nantinya boleh dinikahkan lagi atau tidak
sesudah masa idahnya habis? Imam Malik, al-Laits dan al-Auza’I berkata: tidak
boleh menikah lagi setelah masa idahnya habis. Jumhur ulama berpendapat bahwa
mereka boleh menikah lagi kapan saja mereka suka, asalkan masa idahnya telah
habis.
M. Hukum berduaan dengan Wanita yang
Dipinang
Menyendiri dengan seorang wanita
yang sudah dipinang tanpa ditemnai oleh mahramnya hukumnya adalah haram. Ajaran
islam tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinanganya kecuali
melihat. Hal ini karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan
yang dilarang agama. Tradisi pergaulan antara sorang lelaki dan seorang wanita
sebelum nikah seperti yang berlaku dizaman sekarang ini, dengan dalih agar
kedua belah pihak bisa saling mengenal lebih dekat adalah dalih yang batil. Itu
hanyalah taklid buta terhadap pola kehidupan orang-orang berat.
Rosulullah Saw
bersabda:
عن بن عبا س رضي
الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قا ل: لا يخلون رجل با مرأة إلا مع ذي محرم
Dari Ibnu Abas dari
Nabi Saw, beliau bersabda: jangan lah seseorang laki-laki bersama dengan
seorang perempuan, melainkan (hendaklah) bersertanya (ada) mahromnya.”(H.R.
bukhori). [9]
N. Sholat Istikharah
Jika masing-masing calon suami
istri sudah saling melihat atau memperhatikan, mereka dianjurkan untuk
melakukan sholat istikharah, dengan harapan mudah-mudahan ada kecocokan
diantara mereka.
Diriwayatkan dari jabir R.A. Ia
menuturkan: Rosulullah Saw mengajarkan istikharah kepada kami ketika menghadapi
berbagai perkara, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat al-Qur’an.
Beliau bersabda:
“Apabila salah seorang kalian sedang bingung
menghadapi suatu urusan, hendaklah ia sholat sunnah 2 rakaat. Kemudian berdoa,
ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan kekuasaanMu, aku mohon
bagian kariniaMu yang agung, karena sesungguhnya engkaulah yang kuasa bukan
aku, dan engkaulah yang tau bukan aku. Engkau maha mengetahui segala yang gaib.
Ya Allah jika menurut pengetahuanMu sesuatu ini (sambil menyebutkan sesuatu
yang tengah dihadapi) baik bagi ku untuk urusan agamaku dan kehidupanku, serta
akibat urusanku, maka tentukanlah ia untk ku, mudahkanlah ia buat ku, kemudian
berkahilah bagiku padanya. Dan jika menurut pengetahuanMu hal itu buruk bagiku
untuk urusan agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku, maka hindarkanlah
ia daripada ku dan hindarkanlah aku dari padanya. Dan takdirkanlah bagiku
kebaikan dimana saja berada, kemudian ridailah aku padanya(sambil menyebut
hajatnya).”[10]
O. Hikmah
Disyariatkannya Khitbah
Allah SWT, ketika menyebutkan suatu hal dalam
Al-Qur’an, pasti memiliki hikmah yang sangat dalam akan hal tersebut, begitupun
dalam hal mengkhitbah, ketika Allah Swt, menerangkan bolehnya mengkhitbah pasti
ada hikmah di balik pelaksanaannya itu, paling tidak ada tiga hal, hikmah
dilaksanakannya seseorang dalam mengkhitbah diantaranya:
Pertama: Dengan proses khitbah, bisa saling
mengenal antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya, mengenal
bentuk wajah seseorang yang mengkhitbah dan hal itu tidak bisa kecuali dengan
cara mengkhitbah, karena khitbah memudahkan proses jalannya ta’aruf antara
seorang yang mengkhitbah ( Laki-laki) dan yang dikhitbah (Perempuan) atau pun
keluarga dari keduanya.
Kedua : Ketika seseorang sudah memasuki masa
khitbah dapat memperbanyak ibadah dan menggali pengetahuan tentang kerumah
tanggaan karena dengan hal ini dapat menambah ketentraman antara yang
mengkhitbah dan yang dikhitbah dan hal itu akan berdampak pada baiknya rumah
tangga setelah proses pernikahan.
Ketiga: Khitbah juga dapat berakbiat pada
ketenangan jiwa seseorang, karena proses khitbah merupakan pengikat antara
orang mengkitabah dan dikhitbah dengan ikatan pendahuluan yang
memungkinkan antara keduanya merasakan ketenangan dalam prosesnya menuju
penikahan.[11]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Khitbah atau
dalam bahasa yang sering kita gunakan meminag atau melamar merupakan sesuatu
permintaan seorang lelaki atau wakilnya kepada seorang wanita(walinya) untuk
dijadikan permaisuri hati seumur hidup dengan cara tertentu yang berlaku
dikalangan masyarakat kita hari ini secara meluas. Hukum khitbah adalah sunnah,
nabi Muhammad juga pernah berkhitbah terhadap istri-istrinya, diantaranya
saidatina Aisyah binti Abu Bakar. Hukum melihat maktubah(calon istri)
kita juga adalah harus, riwayat dari Jabir R.A., telah bersabda
Rosululloh S.A.W.:” apabila salah seorang dari kamu mengkhitbahi perempuan,
maka kamu mampu(noleh)melihat akan ia(wanita-wanita yang dikhitbah) untuk
mengajak kearah perkawinan, maka lakukanlah, sempurnakanlah’.
Khitbah boleh dilakukan dengan 2
cara, yaitu:
Ø Secara tasrieh(terang-terangan)
Ø Secara ta’arudh(sindiran), ini dilakukan
kepada wanita-wanita yang didalam ‘iddah kematian suami mereka atau karna talak
ba’in berdasarkan ayat al-Qur’an dari surah al-Baqarah ayat 235,Allah telah
berfirman: dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan(keinginanmu) dalam hati.
Jika pada hati seorang laki-laki terbersit keinginan
untuk meminang seorang wanita, maka ia diperkenankan untuk melihatnya. Dalam
masalah ini, tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama’.
[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat(Rajawali
Pres:Jakarta), 24.
[2] Kamal bin As-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’(Tiga
Pilar:Jakarta Utara), 534.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugul Marom(Pustaka Imam adz
Dzabani:Bekasi Timur), 481.
[4] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat(Rajawali
Pres:Jakarta), 28.
[5] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Terjemah Fiqhus Sunnah Lin
Nisa’(Al-I’tishom Cahaya Umat:Jakarta Timur), 638.
[6] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat(Rajawali
Pres:Jakarta), 27.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Darul Fath:Bandung),
512.
[9] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat(Rajawali
Pres:Jakarta), 33.
[10] Hafidz Ali Syuaisyi’, Terjemah العروس
و بهجة النفوستحفة (Pustaka al-Kautsar:Jakarta Timur), 31.
[11] Www.Goegle.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar