PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan induk ajaran agama islam yang
didalamnya terdapat ilmu
pengetahuan baik yang bersifat sains maupun non sains, Al-Qur’an juga merupakan sebuah kitab yang tulisan dan
bahasanya bersastra yang disuluruh dunia ini tidak ada yang bisa
membandingkanya dalam sebuah maqolah yang berbunyi “Apabila jin dan manusia dikumpulkan untuk membuat satu ayat saja maka tidak akan pernah bisa mengalahkan sastra dan susunan Al-Qur’an ”, Al-Qur’an memang diturunkan di jazirah arab pada masa Nabi Muhammad SAW yang mana masyarakat tersebut menggunakan tatanan bahasa arab.
Apabila Al- Qur’an dahulunya diturunkan di indonesia, maka bahasa Al-Qur’an juga menggunakan bahasa indonesia seperti firman Allah yang berbunyi “ "وما ارسلنا من رسول الا بلسان قومه yang berartikan tidaklah kami utus suatu utusan kecuali dengan bahasa masyarakatnya.
Apabila Al- Qur’an dahulunya diturunkan di indonesia, maka bahasa Al-Qur’an juga menggunakan bahasa indonesia seperti firman Allah yang berbunyi “ "وما ارسلنا من رسول الا بلسان قومه yang berartikan tidaklah kami utus suatu utusan kecuali dengan bahasa masyarakatnya.
Problem
dalam kebahasaan Al-Qur’an memang
sangatlah rumit apalagi pada masa sahabat terdahulu setelah Rasulullah wafat, para
sahabat binggung karna Rasulullah pada masa masih hidupnya tidak menerangkan
satu persatu ayat yanag berada dalam Al-Qur’an . oleh sebab itu dalam makalah
ini patut untuk dikaji, karna dalam makalah ini akan dibahas problematika
bahasa Al-Qur’an yang ditinjau dari bebarapa
aspek antara lain unsur-unsur dalam bahasa Al-Qur’an , dan pandangan tafsir
yang membahasnya.
Kenapa
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab atau di turunkan dalam budaya arab. Ada
beberapa alasan yang berbunyi demikian, pertama, agama islam adalah
kelanjutan agama-agama yang terdahulu seperti yahudi dan nasrani, yang
ternayata juga di turunkan juga di bawah negeri-negeri timur tengah sekarang
ini. Tentunya budaya pada saat itu adalah budaya Arab. Kedua, sangat
bisa jadi bahwa di wilayah-wilayah timur tengah sekarang pada umumnya adalah
budaya arab, telah memiliki peradapan yang sudah sangat maju untuk ukuran saat
itu.
PEMBAHASAN
Problematika Bahasa Al-Quran
1. Bahasa Al-Qur’an Menggunakan Bahasa Arab
Problem pertama tentang bahasa Al-Qur’an yaitu tidak dapat
disangkal bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tersusun
dengan kosa kata bahasa arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam
perbendaharaannya akibat akultrasi. Dalam argument seleksi bahasa ini
dikatakan, bahwa hal itu dikarenakan bahasa arab adalah bahasa terkaya yang
mampu merefleksikan makna secara
utuh, berbeda dengan bahasa-bahasa lainya. Al-Qur’an mengakui hal ini dalam sekian banyak ayatnya, antara lain ayat yang membantah
tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diajarkan
oleh seorang ‘Ajam(non-arab) kepada nabi. Allah Swt. Berfirman:
ولقد نعلم انهم يقولون انما يعلمه بشر لسان الذي يلحدون اليه اعجمي
وهذا لسان عربي مبين ( النحل :103)
Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka
berkata, “sesungguhnya Al-Qur’an diajarkan
oleh seorang manusia kepadanya(Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka
tuduhkan(bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, sedangkan ini
adalah dalam bahasa arab yang terang(QS.An-Nahl(16):103) [1]
Pertanyaan yang sering muncul, “mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab bukan dengan
bahasa lainya?”. Yang pertama dan mungkin masuk akal dan juga telah disebutkan oleh Al-Qur’an bahwa
kelompok sasaran dakwah Rosululloh adalah orang arab, sehingga bahasa yang
paling mudah mereka pahami adalah bahasa arab pula.
Alasan penting lainya adalah mempertimbangkan halayak dari pesan
tersebut. Pesan yang baik tentunya disampaikan dalam bahasa yang dapat dipahami
oleh halayak yang pertama kali mendengarkan pesan tersebut, yaitu penduduk mekah
dan sekelilingnya.[2]
Tentu saja banyak factor yang menyebabkan terpilihnya bahasa arab
sebagai bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain
berkaitan dengan cirri-ciri bahasa arab[3]
2.
Ciri-Ciri
Bahasa Arab
Bahasa arab termasuk rumpun
bahasa semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (aramea),
Suryani, Kaldea, dan Babylonia. Kata-kata bahasa arab pada umumnya mempunyai
dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. Misalnya kata
qala yang berarti berkata terambil dari huruf qaf,wawu, dan
lam. Mengisyaratkan gerakan yang mudah dari mulut dan lidah, karena itu pula huruf pertama yang digunakan
haruslah yang bergerak, karena bukankah dia berupaya untuk berkata(berbicara)
dalam arti menggerakan mulut dan lidah, dan huruf yang terakhir dari kata ini
haruslah huruf mati(yang tidak bergerak) karena mengakhiri perkataan berarti
diam atau tidak bergerak.
Keistemewaan bahasa arab juga disebabkan oleh adanya apa yang
dinamai I’rab. Bahkan dapat dikatakan I’rab adalah ciri khas bahasa
arab. Yang dimaksud dengan I’rab adalah perubahan akhir suatu kalimat yang
disebabkan oleh perbedaan faktor(amil) yang menyertainya baik amil tersebut
secara jelas maupun diperkirakan dalam benak.
Keistemewaan bahasa arab terlihat juga pada kekayaannya. Dan
kekayaan tersebut bukan saja terlihat pada jenis kelamin kata atau pada
bilanganya yaitu mufrod, mutsanna dan jamak, tetapi juga pada kekayaan kosa
kata dan sinonimnya.Sebagai contoh, menurut Al-Fairu-Zabadi, pengarang kamus Al-Muhith
, sinonim kata ‘asal yang berarti madu, ditemukan sebanyak 80 kata.
Sedangkan kata yang menunjuk kepada aneka padang ditemukan sebanyak lebih
kurang 1000 kata.
Keistemawaan lain dari bahasa arab adalah banyaknya kata-kata
ambigu, dan tidak jarang satu kata mempunyai dua atau tiga arti yang
berlawanan. Tapi dalam saat yang sama seseorang dapat menemukan kata yang tidak
mengandung kecuali satu makna yang pasti saja.
Keistemawaan lain dari bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah
kecenderunganya kepada penyingkatan atau yang diistilahkan dengan ijaz, tentu
saja sewaktu-waktu diperlukan ithnab(kepanjang-lebar), tetapi itu hanya
dilakukan bila benar-benar diperlukan. Dalam rangka ‘ijaz sering kali satu kata tidak disebut dalam susunan kalimat,
karena berbagai faktor dan dengan berbagai indikator. Disisi lain, ithnab
seringkali lahir dari kebutuhan memperjelas pesan bagi mitra bicara.
Disisi lain perlu juga dicatat bahwa Al-Qur’an walaupun menggunakan kosa kata yang digunakan
oleh masyarakat arab yang ditemuinya ketika ayat-ayatnya turun, namun tidak
jarang Al-Qur’an mengubah pengertian
semantik dari kata-kata yang digunakan orang-orang arab itu. Semantik adalah
ilmu tentang tata makna atau pengetahuan tentang seluk beluk dan pergeseran
makna kata-kata.[4]
Menurut
Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Al-kitab
dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an
. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:
1. Benar,
karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan
oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan
oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. Efektif,
karena
gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu
sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian
Muhammad dan para sahabat yang solih (As-salaf As-solih);
Muhammad dan para sahabat yang solih (As-salaf As-solih);
3. Sepontan,
karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian
yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar
dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian
yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar
dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4. Simbolis,
bisa
dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu. Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.[5]
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu. Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.[5]
Dari uraian tentang ciri-ciri di atas, terbukti
bahwa bahasa arab mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk melahirkan
makna-makna baru dari akar-akar kata yang dimilikinya. Maka tidak mustahil jika
bahasa arab menjadi sebab dipilihnya bahasa untuk menjadi bahasa Al-Qur’an .[6]
3.
Al-Qur’an Mengandung
Bahasa Selain Arab
Problem kedua tentang kearaban dalam Al-Qur’an adalah adanya klaim, bahwa Al-Qur’an banyak mengandung bahasa” non-arab”.Klaim
ini banyak ditentang keras oleh ulama klasik seperti Ibn Jarir, Imam Syafi’I,
dan lain-lain, karena hal itu bertentangan dengan banyak pernyataan Quranik
yang menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang jelas,; Arabiyyun
Mubin(QS.an-nahl:103).
Namun kiranya, lebih arif jika para ulama melakukan klarifikasi,
bahwa memang ada beberapa frase arab yang memiliki akar(asal-usul) bahasa
non-arab, namun menurut mereka bahasa-bahasa non arab tersebut telah dinetralisasi
kedalam bahasa resmi arab. Sehingga tidak
bisa dikatakan bahwa bahasa-bahasa itu bukan arab.[7]
Bagaimanapun juga di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata-kata atau nama-nama yang
tidak berasal dari bahasa arab, seperti: Israil, Imran, Nuh, dan lain-lain.
Beberapa ulama lain juga menyebut tentang dipergunakannya beberapa kata yang
tidak berasal-usul arab, seperti:
a.
Al-Qisthas(17:35),
yang berasal dari bahasa Yunani
b.
Ath-thur(2:63)
yang berasal dari bahasa Turki
c.
Al-sijjil(15:74)
yang berasal dari bahasa Persia
Ada beberapa ulama yang telah menulis buku yang membahas tentang
kosa kata asing di dalam Al-Qur’an , seperti misalnya suyuti yang berhasil
menyusun kompilasi 118 buah ungkapan di dalam Al-Qur’an yang sesungguhnya berasal dari bahasa-bahasa
yang berbeda.[8]
Beberapa bahasa suku arab yang juga dipakai dalam Al-Qur’an selain bahasa Quraisy adalah: bahasa suku
kinanah,’asad, hudzail, tamim, qays, dan lain-lain.Dominasi bahasa Quraisy ini
sempat disindir dalam riwayat sahabat Anas bin Malik tentang komando’Utsman bin
Affan’ ketika memberikan intruksi kepada panitia unifikasi mushaf Al-Qur’an dalam
satu standar buku, intruksi beliau demikian:
“jika kalian berselisih pandang dengan Zayd bin Tsabit tentang
bahasa arab yang digunakan dalam Al-Qur’an , maka ikutilah bahasa Quraisy,
karena Al-Qur’an turun dalam bahasa mereka”.(HR.Al-Bukhori) [9]
Unsur-unsur Penting dalam
Bahasa Al-Qur’an
Setelah kita mengenal ilmu Al-Qur’an secara umum dan telah membahas
kajian-kajian pengantar dalam study Al-Qur’an , berikut adalah cabang-cabang
penting yang juga patut diketahui oleh setiap pemerhati ulum Al-Qur’an .
1.
Unsur Metaforis
(Majas)
Dalam Al-Qur’an ada 2 katagori nalar
bahasa, yaitu:
a.
Bahasa
nyata/hakikat; yaitu bahasa-bahasa yang bermakna sebenarnya(denotatif).
b.
Bahasa majas (Isti’arah-Kinayah),
yaitu bahasa yang diartikan bukan sebenarnya (konotatif/metafor).
Sensus mayoritas ulama menyepakati adanya bahasa-bahasa metafor
dalam Al-Qur’an , walaupun sebagian kalangan ada yang monolak keberadaan unsure
majas ini. Kalangan yang menolak ini berargumentasi, bahwa pengadaan makna
majas dalam Al-Qur’an hanya akan membuka peluang rekayasa atas makna dan
penafsiran. Penghilangan unsure majas ini akan mengakibatkan hilangnya separuh
keindahan Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an dikenal 2 bentuk majas:
a.
Majas Isnad: yaitu makna metaforis yang dihasilkan dari struktur kalimat (tarkib).
Majas jenis ini juga disebut sebagai majas ‘aqly.
b.
Majas Mufrod: yaitu makna metaforis yang dihasilkan dari sebuah kata, majas ini
disebut juga sebagai majas lughowi.
Kaidah para mufassir yang dipakai dalam penggunaan majas ini
adalah; bahwa makna majas tidak bisa dipakai, jika masih dimungkinkan untuk
menggunakan makna sebenarnya. Seperti”Yadullah” tidak bisa dipahami dengan
makna sebenarnya sebagai “tangan Allah” namun harus dipahami dengan makna majas yang berarti “kekuasaan”. Namun
jika sekiranya sebuah kalimat langsung bisa dipahami dengan makna sebenarnya,
maka tidak boleh atau lebih baik tidak menggunakan makna-makna majas ini
2.
Unsur Sumpah
Tujuan adanya gaya-gaya sumpah dalam Al-Qur’an adalah penguat dalam
sebuah pernyataan (ta’kid al-khabar). Olehnya sumpah dapat dikatagorikan
sebagai salah satu gaya bahasa dalam Al-Qur’an .
Beberapa kalangan mempertanyakan kembali fungsi”sumpah tuhan” atau
qasam ini. ”Buat apa Allah bersumpah?”. Lalu Syeikh Muhammad bin Alwi al-Maliki
menjawab problem ini dengan mengatakan bahwa”layaknya kebiasaan orang arab,
yang suka bersumpah dalam bahasa keseharian mereka, maka Al-Qur’an pun turun
sebagaimana bahasa ini dipergunakan”. Lebih argumentative lagi jawaban dari Abu
Al-Qasim Al-Qusyairi bahwa tujuan qasam sebenarnya adalah memperkuat sebuah
pernyataan.
Bahasan-bahasan qasam ini minimal
akan menyinggung:
a.
Redaksi
(shighat) Qasam dalam Al-Qur’an .
b.
Macam-macam
Qasam, yaitu;Dzahir dan Mudhmar.
3.
Unsur Dialog (Hiwar)
dan Perdebatan (Jadah)
Yang paling urgen untuk
dicermati dalam diskusi gaya bahasa Al-Qur’an ini adalah metode-metode Al-Qur’an
dalam perdebatan dan dialog. Beberapa gaunanya dalam seni dialektika Al-Qur’an ini
antara lain:
a.
Menggunakan
gaya justifikatif (taukid-taqrir), contohnya sangat banyak, diantaranya QS.
Al-Qadr:1.
b.
Mengguakan
janji dan ancaman seperti QS.al-isra’:59.
c.
Menggunakan
gaya pengulangan, contohnya pengulangan pada kisah-kisah nabi.
d.
Menggunakan
amtsal (peribahasa), contoh QS. Al-jumu’ah:5.
e.
Menggunakan
gharizah(basic instinct) seperti QS.maryam:88-95.
f.
Menggunakan
gaya interaktif(Tanya-jawab) seperti QS. Al-an’am:75-79.
4.
Unsur
Naratif:Kisah-kisah Al-Qur’an (Qashash)
Kisah dalam Al-Qur’an sementara terbagi dalam 3 katagori:
a.
Kisah para nabi
b.
Kisah-kisah
rakyat (folkare)
c.
Kejadian-kejadian
dimasa Rosululloh SAW.
Akidah islam menegaskan, bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah
nyata(nonfiktif), gagasan bahwa kisah-kisah itu merupakan imajinasi tanpa wujud
pernah digulirkan dalam desertasi Dr.Muhammad Ahmad Khalfallah Mesir (1367),
dengan judul al-fann al-Qashasi fi Al-Qur’an namun gagasan inisegera mendapat
koreksi hebat dari kalangan akademis islam.
Beberapa tema kajian yang urgen dalam masalah kisah-kisah Al-Qur’an
ini diantaranya adalah:
a.
Gaya cerita
atau nalar naratif dalam Al-Qur’an .
b.
Profisitas
(faedah) dari kisah-kisah Al-Qur’an
c.
Hikmah
pengulangan kisah-kisah n tertentu dibeberapa tempat, dan rahasia
peletakan kisah-kisah dramatis(seperti
kisah Yusuf as dalam satu surat utuh, tanpa pengulangan).
5.
Unsur
Perumpamaan dan Peribahasa(Amtsal)
Unsur bahasa ini lebih mudah
dipahami sebagai perkataan-perkataan hikmah, yang kemudian tersebar ditengah
masyarakat dan kemudian dianggap sebagai kalimat-kalimat bijak oleh masyarakat.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa bentuk amtsal:
a.
Perumpamaan
yang terang-terangan (Musharahah), yaitu kalimat hikmah yang menyebutkan
kata permisalan atau perumpamaan”missal” dengan jelas, contoh riilnya dalam
QS.al-baqarah ayat 17 dan ayat 261.
b.
Perumpamaan
tersembunyi (kaminah), yaitu kalimat hikmah yang tidak menyebutkan kata
permisalan atau perumpamaan secara jelas, namun memiliki kandungan makna
permisalan. Misalnya, ketika hendak memilih”perkara tengah-tengah”, seseorang
mengujar ayat 68, QS.al-Baqarah. Bahwa sapi yang hendak disembelih adalah sapi
yang sedang-sedang, bukan yang berumur tua, juga bukan sapi yang masih terlalu
muda.
c.
Perumpamaan
bebas (mursalah) atau yang sering kita sebut sebagai peribahasa, yaitu
kalimat-kalimat hikmah yang bebas namun memiliki suratan perumpamaan. Seperti
kalimat-kalimat berikut:
“siapa
yang berbuat kejelekan maka ia akan dibalas dengan setimpal” (kandungan
peribahasa QS. An-nisa’:123).
6. Unsur
Mubhamat/Gaya Ibham
Mubhamat
adalah ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang hanya menyebutkan inti informasi
tanpa perincian detail. Ibham (pendiaman) Al-Qur’an terhadap detail-detail
informasi itu, adakalnya dikarenakan tidak ada guna dalam penyebutannya atau
memang detail maksud yang dikehendaki sudah jelas.
Beberapa
sebab ibham dalam Al-Qur’an :
·
Tidak adanya manfaat; seperti penyebutan
warna anjing ashabul kahfi dan nama
orang yang dihidupkan setelah tidur 100 tahun(uzair) QS.Al-Baqarah:259.
·
Sengaja tidak menyebut nama sebagai
bentuk pemuliaan, seperti cerita hijrah nabi saw dengan Abu Bakar. Nama Abu
Bakar tidak disebutkan secara jelas(QS. At-Taubah:40).
·
Dirahasiakan agar maknanya tetap umum:
seperti makna ayat 100 surat an-Nisa.
7. Unsur
Pembuka Surat (Fawatih al-Suwar)
Al-Qur’an
mengandung beberapa ragam gaya dalam pembukaan suratnya, gaya-gaya inilah yang
disebut sebagai fawatih as-suwar .
Diantaranya adalah dengan:
a. Pujian
kepada Allah/Ats-tsana’(ada dalam 14 surat)
b. Panggilan/Nida’(ada
dalam 10 surat)
c. Sumpah/Qasam
(ada dalam 15 surat)
d. Peletakan
huruf syarat (ada dalam 7 syurat)
e. Peletakan
perintah secara langsung (ada dalam 5 surat)
f. Pertanyaan
istifham (ada dalam 6 surat)
g. Dengan
doa dan harapan (ada dalam 3 surat)
h. Dengan
nalar/ kausalitas/sebab akibat (ada dalam 1 surat)
i.
Ada struktur DM (diterangkan
menerangkan) atau disebut sebagai jumlah khabariyah (ada dalam 23 surat)
j.
Dengan huruf-huruf terputus/al-huruf
Al-Muqattha’ah(ada dalam 29 surat)
8.
Unsur Bahasa
Aneh/Asing(Gharib Al-Qur’an )
Gharib artinya aneh atau asing. Yang dimaksud gharib Al-Qur’an adalah
bahasa-bahasa Al-Qur’an yang memiliki asal-usul luar arab(‘ajam), sehingga
orang-orang arab yang membacanya merasakan sedikit kejanggalan dan rasa aneh.
Imam suyuti telah mengumpulkan lafadz-lafadz yang ditengarai sebagai lafadz
asing ini hingga mencapai sekitar 60 kata.
Adanya bahasa-bahasa “tidak asli” ini bukan berarti Al-Qur’an mengandung bahasa
asing, sebab bahasa-bahasa ini telah di arabisasi( ta’rib, yaitu proses
netralisasi bahasa-bahasa serapan kedalam bahasa arab).
Bagaimanapun, perlu disadari bahwa proses masuknya bahasa-bahasa
asing kedalam kosa kata arab ini, adalah konsekuensi adanya budaya di mekah,
yang merupakan salah satu pusat perdagangan di semenanjung Arabia waktu itu. Ke tidaktahuan
segelintir sahabat tentang kata-kata baru inilah yang menyebabkan lafadz-lafadz
tersebut dalam Al-Qur’an ini tetap dikenal sebagai bahasa gharib atau aneh.[10]
Preblomatika Kebahasaan Ditinjau Dari
Tafsirnya
Dalam bahasa arab kata tafsir
berasl dari kata al-fasr yang berarti: penjelasan atau keterangan,
yakni, menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan yang memberikan pengertian
tentang sesuatu disebut tafsir. Jadi keterangan atau penjelasan itulah yang menyampaikan
pengertian tentang sesuatu itu begini begitu. Tafsir Al-Qur’an karim ialah
penjelasan atau keterangan tentang firman Allah Azza Wa Jalla yang memberikan
pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam Qur’an.
Kata tafsir sebagai
istilah, di kalangan para ulama’ mempunyai dua makna. Makna yang pertama
adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas. Sedang mana yang kedua mengandung
pengertian bahwa tafsir merupkan bagian dari ilmu badi’, yaitu salah
satu cabang ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan
kalimat. Tafsir sangat diperlukan karena setiap karena setiap orang
mengemukakan fikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang
kadang-kadang tidak akan dapat
dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul dangan
kalimat-kalimat lain yang bersifat menjelaskan.[11]
Sebagaian ulama’ mengatakan,
kata tafsir sebagai istilah berarti: ilmu tentang ayat-ayat Quran, sejarah dan
situasi pada saat ayat-ayat itu diturunkan, juga sebab-sebab diturunkannya
ayat. Yang jelas, kata tafsir dalam
agama islam secara khusus menunjuk kepada masalah penafsiran Al-Qur’an dan juga ilmu
tafsir yang terkenal dengan nama “ILmu Al-Qur’an dan Tafsir”
Adakalanya kata tafsir
diartikan sama dengan kata ta’wil yang berasal dari akar kata Al-Aulu yang
bermakna “kembali”.dalam hal ini orang yang menafsirkan ayat Al-Qur’an menguraikanya sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung didalam ayat itu sendiri. ada
juga kata ta’wil berasal dari kata iyalah yang berarti”pengendalian. Jadi orang
memberikan ta’wil seolah-olah mengendalikan ucapanya dan meletakkan makna
menurut yang semestinya.
Sekalipun kata ta’wil ucapkali
diartikan sama dengan tafsir ,
nama para ulama’ berbeda pendepat dengan
mengenai hubungan antara kata
kedua tersebut : yaitu apakah keduanya
bermakna satu dan sinonim, ataukah
masing-masing mempunyai arti sendiri –sendiri? Sebagaian ulama berpendapat
bahwa kedua kata tersebut mempunyai satu
makna. Ar-Raghib Al- Asfahani
berpendapat, tafsir lebih bermakna umum dibanding ta’wil dan lebih banyak
digunakan untuk menerangkan mufradatnya
(kosakatanya) sedangkan kata ta’wil lebih banyak di pergunakan untuk menerangkan makna susunan kalimat.
Para ulama lain berpendapat bahwa tafsir memberik
keterangan tentang arti lafadz (kata)
yang hanya mengandung satu makna sedangkan kata ta’wil mengarahkan kata kepada berbagai pengertian
dan makna, yang salah satunya dapat menunjukkan pengertian sebagaimana yang tampak pada susunan kalimat. Ibnu
mandzur menulis dalam Al-Lisan : tafsir menjelaskan atau menggungkapkan maksud
kata yang sulit, sedangkan ta’wil mengembalikan salah satu dari kedua
pengertian atau lebih kepada pengertian yang sesuai dengan maksud susunan
kalimat yang di ta’wilkan.
Sebagaimana kita tah manusia
itu bermacam-macam ada yang tergolong awam dan buta huruf, ada pula kelompok
khawas atau terpelajar karena itu dapatlah kita paham akan daya jangkau
masing-masing pada tingkatan yang tidak sama. Barang kali itu juga sebabnya Ibnu
Qutaibah dalam karangannya yang bejudul Al-Massail Wal Ajibah menyatakan bahwa
orang-orang arab tidak memilki tingkat pemahan ayat-ayat quran yang mutasibhat
(samar maknaya). Al-Afghani juga mengatakan diantara para pengguni jazirah arab
sendiri timbul perbedaan dalam memahami makna Al-Qur’an .[12]
Dalam Al-Qur’an terdapat
lafadz-lafdz mutasyabih yang makna- maknanya serupa dengan makna yang kita ketahui
di dunia, akan tetapi hakikatnya adalah tidak sama misalnya di akhirat terdapat
Mizan (timbangan), Jannah (taman), dan
Nar (api). [13]Ada juga firman Allah yang berbunyi “wa
imma takhofanna min qowmin khiyanatan fanbits ilaihim ‘ala sawa”.
Kata-kata sawa menurut orang-orang arab dimaknai sama, sedangkan
menurut Al-Qur’an dimaknai jujur. Contoh
lainya seperti kata zakat yang menurut orang arab berarti membersihkan,
sedangkan menurut Al-Qur’an kata zakat
berartikan sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan. Begitu juga pada
lafadz Bai’ ( jual beli) menurut orang arab artinya adalah menukarkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainya, sedangkan menurut Al-Qur’an yaitu menukarkan harta
dengan harta yang lain melalui cara tertentu (syarat-syarat akan ditukarkan
nanti). [14]
Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
bahasa Al-Qur’an memang sangat sulit
dipahami maknanya, dan yang tahu makna aslinya sendiri hanyalah Allah SWT. Arkoun juga berpendapat dalam teorinya
semiotik. Yaitu suatu ilmu yang mempelajari “Bahasa”, kode-kode. Arkoun
berpendapat bahwa Al-Qur’an yang bisa
disentuh oleh manusia sebenarnya hanya sisi langue dari tuhan. Karna sifatnya
yang tidak terbatas dan transenden, manusia tidak mungkin mampu menyentuh
parole tuhan. Disamping itu parole tuhan, sebab keunikanya, manusia tidak akan
mampu menggapainya. Yang dimaksud parole adalah bagian dari bahasa yang
sepenuhnya individual dalam pengertian apabila di implementasikan pada Al-Qur’an
. Maka bahasa Al-Qur’an yang paham makna katanya hanyalah Allah SWT. Sedangkan langue adalah suatu sistem
kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Bahasa Al-Qur’an merupakan bahasa yang bersastra yang semua orang tidak
mengerti satu-persatu ayat, surat, susunan kalimat untuk memahaminya sendiri.
Karna yang bisa mengerti makna asalnya lafadz-lafadz Al-Qur’an itu sendiri adalah Allah SWT. Bahasa
Al-Qur’an juga mempunyai banyak unsur
seperti Metaforis, sumpah, dialog, naratif, perumpamaan, mubhamat, pembuka
surat, dan bahasa yang aneh. Kesemuanya
itu mengkaji dan mengulas preblomatika kebahasaan Al-Qur’an . Bahasa Al-Qur’an juga merupakan sebuah bahasa yang parole dan
langue atau bisa dikatakan bahwa makna Al-Qur’an yang tahu hanyalah Allah
semata.
DAFTAR PUSTAKA
Quraish, M. Shihab. 2003. Mukjizat
al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan
Von Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu
Al-Qur’an Pengenalan Dasar. Jakarta:
CV Rajawali.
Arkoun, Mohammed. Lectures du
Coran.
Shams, Ahmad Madyan, Lc. MA., 2008. Peta Pembelajaran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pembelajaran.
Asy- Syibasyhi, Muhammad. Sejarah Tafsir Quran: Pustaka Firdaus
Kahlil, Manna’ Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Jakarta :
Halim Jaya
Hidayah, abd. Terjemah Fathul Mu’min Juz 2. Surabaya: al-Hidayah
[1] M.
Quraish shihab (selanjutnya disebut Shihab),
Mukjizat Al-Qur’an (Bandung: penerbit Mizan, 2003), 89.
[2]
Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Quran
Pengenalan Dasar (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 75.
[3]Shihab, Op.Cit., 90.
[4]Ibid.
[5]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran., hal
38.
[6] M.
Quraish shihab, Mukjizat Al-Quran ( Bandung: penerbit Mizan, 2003), 94.
[7]
Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran
al-Quran (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008), 46.
[8]
Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Quran Pengenalan
Dasar (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 79.
[9]
Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran
al-Quran (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 44.
[10]
Ibid., 162.
[11]
Muhammad Asy-Syibasyhi, Sejarah Tafsir Quran (t.t.: Pustaka Firdaus,
t.th.), 4.
[12] Ibid., 41.
[13]
Manna’ Kahlil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: Litera
Antarnusa “Halim Jaya”), 310.
[14]Abd.hiyadh,
terjemah Fathul Mu’in, Juz II
(Surabaya: Al-Hidayah, t.th.), 193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar