Rabu, 26 September 2012

Problematika Bahasa al-Qur'an



PENDAHULUAN

Al-Qur’an  merupakan induk ajaran agama islam yang didalamnya terdapat  ilmu pengetahuan baik yang bersifat sains maupun non sains, Al-Qur’an  juga merupakan sebuah kitab yang tulisan dan bahasanya  bersastra yang disuluruh dunia  ini tidak ada yang bisa membandingkanya dalam sebuah maqolah yang berbunyi Apabila jin dan manusia dikumpulkan untuk membuat satu ayat saja maka tidak akan pernah bisa mengalahkan sastra dan susunan Al-Qur’an ”, Al-Qur’an  memang diturunkan di jazirah arab pada masa Nabi  Muhammad SAW yang mana masyarakat tersebut  menggunakan tatanan bahasa arab.
Apabila Al- Qur’an dahulunya diturunkan di indonesia, maka bahasa Al-Qur’an  juga menggunakan bahasa indonesia seperti firman Allah yang berbunyi “  "وما ارسلنا من رسول الا بلسان قومه   yang berartikan tidaklah kami utus suatu utusan kecuali dengan bahasa masyarakatnya.
 Problem dalam kebahasaan Al-Qur’an  memang sangatlah rumit apalagi pada masa sahabat terdahulu setelah Rasulullah wafat, para sahabat binggung karna Rasulullah pada masa masih hidupnya tidak menerangkan satu persatu ayat yanag berada dalam Al-Qur’an . oleh sebab itu dalam makalah ini patut untuk dikaji, karna dalam makalah ini akan dibahas problematika bahasa Al-Qur’an  yang ditinjau dari bebarapa aspek antara lain unsur-unsur dalam bahasa Al-Qur’an , dan pandangan tafsir yang membahasnya.
Kenapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab atau di turunkan dalam budaya arab. Ada beberapa alasan yang berbunyi demikian, pertama, agama islam adalah kelanjutan agama-agama yang terdahulu seperti yahudi dan nasrani, yang ternayata juga di turunkan juga di bawah negeri-negeri timur tengah sekarang ini. Tentunya budaya pada saat itu adalah budaya Arab. Kedua, sangat bisa jadi bahwa di wilayah-wilayah timur tengah sekarang pada umumnya adalah budaya arab, telah memiliki peradapan yang sudah sangat maju untuk ukuran saat itu.






 PEMBAHASAN

Problematika Bahasa Al-Quran
1.      Bahasa Al-Qur’an Menggunakan Bahasa Arab
Problem pertama tentang bahasa Al-Qur’an  yaitu  tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat Al-Qur’an  tersusun dengan kosa kata bahasa arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam perbendaharaannya akibat akultrasi. Dalam argument seleksi bahasa ini dikatakan, bahwa hal itu dikarenakan bahasa arab adalah bahasa terkaya yang mampu merefleksikan makna secara utuh, berbeda dengan bahasa-bahasa lainya. Al-Qur’an  mengakui hal ini dalam sekian banyak  ayatnya, antara lain ayat yang membantah tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an  diajarkan oleh seorang ‘Ajam(non-arab) kepada nabi. Allah Swt. Berfirman:
ولقد نعلم انهم يقولون انما يعلمه بشر لسان الذي يلحدون اليه اعجمي وهذا لسان عربي مبين ( النحل :103)
Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata, “sesungguhnya Al-Qur’an  diajarkan oleh seorang manusia kepadanya(Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan(bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, sedangkan ini adalah dalam bahasa arab yang terang(QS.An-Nahl(16):103) [1]
Pertanyaan yang sering muncul, “mengapa Al-Qur’an  diturunkan dalam bahasa arab bukan dengan bahasa lainya?”. Yang pertama dan mungkin masuk akal  dan juga telah disebutkan oleh Al-Qur’an bahwa kelompok sasaran dakwah Rosululloh adalah orang arab, sehingga bahasa yang paling mudah mereka pahami adalah bahasa arab pula.
Alasan penting lainya adalah mempertimbangkan halayak dari pesan tersebut. Pesan yang baik tentunya disampaikan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh halayak yang pertama kali mendengarkan pesan tersebut, yaitu penduduk mekah dan sekelilingnya.[2]

Tentu saja banyak factor yang menyebabkan terpilihnya bahasa arab sebagai bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain berkaitan dengan cirri-ciri bahasa arab[3]
2.      Ciri-Ciri Bahasa Arab
 Bahasa arab termasuk rumpun bahasa semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (aramea), Suryani, Kaldea, dan Babylonia. Kata-kata bahasa arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. Misalnya kata qala yang berarti berkata terambil dari huruf qaf,wawu, dan lam. Mengisyaratkan gerakan yang mudah dari mulut dan lidah,  karena itu pula huruf pertama yang digunakan haruslah yang bergerak, karena bukankah dia berupaya untuk berkata(berbicara) dalam arti menggerakan mulut dan lidah, dan huruf yang terakhir dari kata ini haruslah huruf mati(yang tidak bergerak) karena mengakhiri perkataan berarti diam atau tidak bergerak.
Keistemewaan bahasa arab juga disebabkan oleh adanya apa yang dinamai I’rab. Bahkan dapat dikatakan I’rab adalah ciri khas bahasa arab. Yang dimaksud dengan I’rab adalah perubahan akhir suatu kalimat yang disebabkan oleh perbedaan faktor(amil) yang menyertainya baik amil tersebut secara jelas maupun diperkirakan dalam benak.
Keistemewaan bahasa arab terlihat juga pada kekayaannya. Dan kekayaan tersebut bukan saja terlihat pada jenis kelamin kata atau pada bilanganya yaitu mufrod, mutsanna dan jamak, tetapi juga pada kekayaan kosa kata dan sinonimnya.Sebagai contoh, menurut Al-Fairu-Zabadi, pengarang kamus Al-Muhith , sinonim kata ‘asal yang berarti madu, ditemukan sebanyak 80 kata. Sedangkan kata yang menunjuk kepada aneka padang ditemukan sebanyak lebih kurang 1000 kata.
Keistemawaan lain dari bahasa arab adalah banyaknya kata-kata ambigu, dan tidak jarang satu kata mempunyai dua atau tiga arti yang berlawanan. Tapi dalam saat yang sama seseorang dapat menemukan kata yang tidak mengandung kecuali satu makna yang pasti saja.
Keistemawaan lain dari bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah kecenderunganya kepada penyingkatan atau yang diistilahkan dengan ijaz, tentu saja sewaktu-waktu diperlukan ithnab(kepanjang-lebar), tetapi itu hanya dilakukan bila benar-benar diperlukan. Dalam rangka ‘ijaz sering kali satu kata tidak disebut dalam susunan kalimat, karena berbagai faktor dan dengan berbagai indikator. Disisi lain, ithnab seringkali lahir dari kebutuhan memperjelas pesan bagi mitra bicara.
Disisi lain perlu juga dicatat bahwa Al-Qur’an  walaupun menggunakan kosa kata yang digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya ketika ayat-ayatnya turun, namun tidak jarang Al-Qur’an  mengubah pengertian semantik dari kata-kata yang digunakan orang-orang arab itu. Semantik adalah ilmu tentang tata makna atau pengetahuan tentang seluk beluk dan pergeseran makna kata-kata.[4]
Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Al-kitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam  Al-Qur’an . Gaya bahasa Al-Qur’an  itu adalah:
1.      Benar,
karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan
oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2.      Efektif,
karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian
Muhammad dan para sahabat yang solih (As-salaf As-solih);
3.      Sepontan,
karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian
yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar
dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4.      Simbolis,
bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu. Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an  membanjiri hati nurani manusia.[5]
Dari uraian tentang ciri-ciri di atas, terbukti bahwa bahasa arab mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk melahirkan makna-makna baru dari akar-akar kata yang dimilikinya. Maka tidak mustahil jika bahasa arab menjadi sebab dipilihnya bahasa untuk menjadi bahasa Al-Qur’an .[6]
3.      Al-Qur’an Mengandung Bahasa Selain Arab
Problem kedua tentang kearaban dalam Al-Qur’an  adalah adanya klaim, bahwa Al-Qur’an  banyak mengandung bahasa” non-arab”.Klaim ini banyak ditentang keras oleh ulama klasik seperti Ibn Jarir, Imam Syafi’I, dan lain-lain, karena hal itu bertentangan dengan banyak pernyataan Quranik yang menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang jelas,; Arabiyyun Mubin(QS.an-nahl:103).
Namun kiranya, lebih arif jika para ulama melakukan klarifikasi, bahwa memang ada beberapa frase arab yang memiliki akar(asal-usul) bahasa non-arab, namun menurut mereka bahasa-bahasa non arab tersebut telah dinetralisasi kedalam bahasa resmi arab. Sehingga tidak  bisa dikatakan bahwa bahasa-bahasa itu bukan arab.[7]
Bagaimanapun juga di dalam Al-Qur’an  juga terdapat kata-kata atau nama-nama yang tidak berasal dari bahasa arab, seperti: Israil, Imran, Nuh, dan lain-lain. Beberapa ulama lain juga menyebut tentang dipergunakannya beberapa kata yang tidak berasal-usul arab, seperti:
a.       Al-Qisthas(17:35), yang berasal dari bahasa Yunani
b.      Ath-thur(2:63) yang berasal dari bahasa Turki
c.       Al-sijjil(15:74) yang berasal dari bahasa Persia


Ada beberapa ulama yang telah menulis buku yang membahas tentang kosa kata asing di dalam Al-Qur’an , seperti misalnya suyuti yang berhasil menyusun kompilasi 118 buah ungkapan di dalam Al-Qur’an  yang sesungguhnya berasal dari bahasa-bahasa yang berbeda.[8]
Beberapa bahasa suku arab yang juga dipakai dalam Al-Qur’an  selain bahasa Quraisy adalah: bahasa suku kinanah,’asad, hudzail, tamim, qays, dan lain-lain.Dominasi bahasa Quraisy ini sempat disindir dalam riwayat sahabat Anas bin Malik tentang komando’Utsman bin Affan’ ketika memberikan intruksi kepada panitia unifikasi mushaf Al-Qur’an dalam satu standar buku, intruksi beliau demikian:
“jika kalian berselisih pandang dengan Zayd bin Tsabit tentang bahasa arab yang digunakan dalam Al-Qur’an , maka ikutilah bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dalam bahasa mereka”.(HR.Al-Bukhori)   [9]
 Unsur-unsur Penting dalam Bahasa Al-Qur’an
Setelah kita mengenal ilmu Al-Qur’an secara umum dan telah membahas kajian-kajian pengantar dalam study Al-Qur’an , berikut adalah cabang-cabang penting yang juga patut diketahui oleh setiap pemerhati ulum Al-Qur’an .
1.      Unsur Metaforis (Majas)
Dalam Al-Qur’an ada 2 katagori nalar bahasa, yaitu:
a.       Bahasa nyata/hakikat; yaitu bahasa-bahasa yang bermakna sebenarnya(denotatif).
b.      Bahasa majas (Isti’arah-Kinayah), yaitu bahasa yang diartikan bukan sebenarnya (konotatif/metafor).     
Sensus mayoritas ulama menyepakati adanya bahasa-bahasa metafor dalam Al-Qur’an , walaupun sebagian kalangan ada yang monolak keberadaan unsure majas ini. Kalangan yang menolak ini berargumentasi, bahwa pengadaan makna majas dalam Al-Qur’an hanya akan membuka peluang rekayasa atas makna dan penafsiran. Penghilangan unsure majas ini akan mengakibatkan hilangnya separuh keindahan Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an dikenal 2 bentuk majas:
a.       Majas Isnad: yaitu makna metaforis yang dihasilkan dari struktur kalimat (tarkib). Majas jenis ini juga disebut sebagai majas ‘aqly.
b.      Majas Mufrod: yaitu makna metaforis yang dihasilkan dari sebuah kata, majas ini disebut juga sebagai majas lughowi.
Kaidah para mufassir yang dipakai dalam penggunaan majas ini adalah; bahwa makna majas tidak bisa dipakai, jika masih dimungkinkan untuk menggunakan makna sebenarnya. Seperti”Yadullah” tidak bisa dipahami dengan makna sebenarnya sebagai “tangan Allah” namun harus dipahami dengan  makna majas yang berarti “kekuasaan”. Namun jika sekiranya sebuah kalimat langsung bisa dipahami dengan makna sebenarnya, maka tidak boleh atau lebih baik tidak menggunakan makna-makna majas ini
2.      Unsur Sumpah
Tujuan adanya gaya-gaya sumpah dalam Al-Qur’an adalah penguat dalam sebuah pernyataan (ta’kid al-khabar). Olehnya sumpah dapat dikatagorikan sebagai salah satu gaya bahasa dalam Al-Qur’an .
Beberapa kalangan mempertanyakan kembali fungsi”sumpah tuhan” atau qasam ini. ”Buat apa Allah bersumpah?”. Lalu Syeikh Muhammad bin Alwi al-Maliki menjawab problem ini dengan mengatakan bahwa”layaknya kebiasaan orang arab, yang suka bersumpah dalam bahasa keseharian mereka, maka Al-Qur’an pun turun sebagaimana bahasa ini dipergunakan”. Lebih argumentative lagi jawaban dari Abu Al-Qasim Al-Qusyairi bahwa tujuan qasam sebenarnya adalah memperkuat sebuah pernyataan.
Bahasan-bahasan qasam ini minimal akan menyinggung:
a.       Redaksi (shighat) Qasam dalam Al-Qur’an .
b.      Macam-macam Qasam, yaitu;Dzahir dan Mudhmar.
3.      Unsur Dialog (Hiwar) dan Perdebatan (Jadah)
Yang paling  urgen untuk dicermati dalam diskusi gaya bahasa Al-Qur’an ini adalah metode-metode Al-Qur’an dalam perdebatan dan dialog. Beberapa gaunanya dalam seni dialektika Al-Qur’an ini antara lain:
a.       Menggunakan gaya justifikatif (taukid-taqrir), contohnya sangat banyak, diantaranya QS. Al-Qadr:1.
b.      Mengguakan janji dan ancaman seperti QS.al-isra’:59.
c.       Menggunakan gaya pengulangan, contohnya pengulangan pada kisah-kisah nabi.
d.      Menggunakan amtsal (peribahasa), contoh QS. Al-jumu’ah:5.
e.       Menggunakan gharizah(basic instinct) seperti QS.maryam:88-95.
f.       Menggunakan gaya interaktif(Tanya-jawab) seperti QS. Al-an’am:75-79.
4.      Unsur Naratif:Kisah-kisah Al-Qur’an (Qashash)
Kisah dalam Al-Qur’an sementara terbagi dalam 3 katagori:
a.       Kisah para nabi
b.      Kisah-kisah rakyat (folkare)
c.       Kejadian-kejadian dimasa Rosululloh SAW.
Akidah islam menegaskan, bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah nyata(nonfiktif), gagasan bahwa kisah-kisah itu merupakan imajinasi tanpa wujud pernah digulirkan dalam desertasi Dr.Muhammad Ahmad Khalfallah Mesir (1367), dengan judul al-fann al-Qashasi fi Al-Qur’an namun gagasan inisegera mendapat koreksi hebat dari kalangan akademis islam.
Beberapa tema kajian yang urgen dalam masalah kisah-kisah Al-Qur’an ini diantaranya adalah:
a.       Gaya cerita atau nalar naratif dalam Al-Qur’an .
b.      Profisitas (faedah) dari kisah-kisah Al-Qur’an
c.       Hikmah pengulangan kisah-kisah n tertentu dibeberapa tempat, dan rahasia peletakan  kisah-kisah dramatis(seperti kisah Yusuf as dalam satu surat utuh, tanpa pengulangan).


5.      Unsur Perumpamaan dan Peribahasa(Amtsal)
 Unsur bahasa ini lebih mudah dipahami sebagai perkataan-perkataan hikmah, yang kemudian tersebar ditengah masyarakat dan kemudian dianggap sebagai kalimat-kalimat bijak oleh masyarakat. Dalam Al-Qur’an ada beberapa bentuk amtsal:
a.       Perumpamaan yang terang-terangan (Musharahah), yaitu kalimat hikmah yang menyebutkan kata permisalan atau perumpamaan”missal” dengan jelas, contoh riilnya dalam QS.al-baqarah ayat 17 dan ayat 261.
b.      Perumpamaan tersembunyi (kaminah), yaitu kalimat hikmah yang tidak menyebutkan kata permisalan atau perumpamaan secara jelas, namun memiliki kandungan makna permisalan. Misalnya, ketika hendak memilih”perkara tengah-tengah”, seseorang mengujar ayat 68, QS.al-Baqarah. Bahwa sapi yang hendak disembelih adalah sapi yang sedang-sedang, bukan yang berumur tua, juga bukan sapi yang masih terlalu muda.
c.       Perumpamaan bebas (mursalah) atau yang sering kita sebut sebagai peribahasa, yaitu kalimat-kalimat hikmah yang bebas namun memiliki suratan perumpamaan. Seperti kalimat-kalimat berikut:
“siapa yang berbuat kejelekan maka ia akan dibalas dengan setimpal” (kandungan peribahasa QS. An-nisa’:123).
6.      Unsur Mubhamat/Gaya Ibham
Mubhamat adalah ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang hanya menyebutkan inti informasi tanpa perincian detail. Ibham (pendiaman) Al-Qur’an terhadap detail-detail informasi itu, adakalnya dikarenakan tidak ada guna dalam penyebutannya atau memang detail maksud yang dikehendaki sudah jelas.
Beberapa sebab ibham dalam Al-Qur’an :
·         Tidak adanya manfaat; seperti penyebutan warna anjing ashabul kahfi dan nama orang yang dihidupkan setelah tidur 100 tahun(uzair) QS.Al-Baqarah:259.
·         Sengaja tidak menyebut nama sebagai bentuk pemuliaan, seperti cerita hijrah nabi saw dengan Abu Bakar. Nama Abu Bakar tidak disebutkan secara jelas(QS. At-Taubah:40).
·         Dirahasiakan agar maknanya tetap umum: seperti makna ayat 100 surat an-Nisa.
7.      Unsur Pembuka Surat (Fawatih al-Suwar)
Al-Qur’an mengandung beberapa ragam gaya dalam pembukaan suratnya, gaya-gaya inilah yang disebut sebagai fawatih as-suwar . Diantaranya adalah dengan:
a.       Pujian kepada Allah/Ats-tsana’(ada dalam 14 surat)
b.      Panggilan/Nida’(ada dalam 10 surat)
c.       Sumpah/Qasam (ada dalam 15 surat)
d.      Peletakan huruf syarat (ada dalam 7 syurat)
e.       Peletakan perintah secara langsung (ada dalam 5 surat)
f.       Pertanyaan istifham (ada dalam 6 surat)
g.      Dengan doa dan harapan (ada dalam 3 surat)
h.      Dengan nalar/ kausalitas/sebab akibat (ada dalam 1 surat)
i.        Ada struktur DM (diterangkan menerangkan) atau disebut sebagai jumlah khabariyah (ada dalam 23 surat)
j.        Dengan huruf-huruf terputus/al-huruf Al-Muqattha’ah(ada dalam 29 surat) 

8.      Unsur Bahasa Aneh/Asing(Gharib Al-Qur’an )
Gharib artinya aneh atau asing. Yang dimaksud gharib Al-Qur’an adalah bahasa-bahasa Al-Qur’an yang memiliki asal-usul luar arab(‘ajam), sehingga orang-orang arab yang membacanya merasakan sedikit kejanggalan dan rasa aneh. Imam suyuti telah mengumpulkan lafadz-lafadz yang ditengarai sebagai lafadz asing ini hingga mencapai sekitar 60 kata.
Adanya bahasa-bahasa “tidak asli”  ini bukan berarti Al-Qur’an mengandung bahasa asing, sebab bahasa-bahasa ini telah di arabisasi( ta’rib, yaitu proses netralisasi bahasa-bahasa serapan kedalam bahasa arab).
Bagaimanapun, perlu disadari bahwa proses masuknya bahasa-bahasa asing kedalam kosa kata arab ini, adalah konsekuensi adanya budaya di mekah, yang merupakan salah satu pusat perdagangan di semenanjung Arabia waktu itu. Ke tidaktahuan segelintir sahabat tentang kata-kata baru inilah yang menyebabkan lafadz-lafadz tersebut dalam Al-Qur’an ini tetap dikenal sebagai bahasa gharib atau aneh.[10]
Preblomatika Kebahasaan Ditinjau Dari Tafsirnya
Dalam bahasa arab kata tafsir berasl dari kata al-fasr yang berarti: penjelasan atau keterangan, yakni, menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan yang memberikan pengertian tentang sesuatu disebut tafsir. Jadi keterangan atau penjelasan itulah yang menyampaikan pengertian tentang sesuatu itu begini begitu. Tafsir Al-Qur’an karim ialah penjelasan atau keterangan tentang firman Allah Azza Wa Jalla yang memberikan pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam Qur’an.
Kata tafsir sebagai istilah, di kalangan para ulama’ mempunyai dua makna. Makna yang pertama adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas. Sedang mana yang kedua mengandung pengertian bahwa tafsir merupkan bagian dari ilmu badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat. Tafsir sangat diperlukan karena setiap karena setiap orang mengemukakan fikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang kadang-kadang tidak akan dapat  dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul dangan kalimat-kalimat lain yang bersifat menjelaskan.[11]
Sebagaian ulama’ mengatakan, kata tafsir sebagai istilah berarti: ilmu tentang ayat-ayat Quran, sejarah dan situasi pada saat ayat-ayat itu diturunkan, juga sebab-sebab diturunkannya ayat. Yang jelas, kata tafsir dalam   agama islam secara khusus menunjuk kepada  masalah penafsiran Al-Qur’an dan juga ilmu tafsir yang terkenal dengan nama “ILmu Al-Qur’an dan Tafsir”
Adakalanya kata tafsir diartikan sama dengan kata  ta’wil  yang berasal dari akar kata Al-Aulu yang bermakna “kembali”.dalam hal ini orang yang menafsirkan ayat Al-Qur’an  menguraikanya sedemikian rupa berdasarkan  pokok pengertian  yang terkandung didalam ayat itu sendiri. ada juga kata ta’wil berasal dari kata iyalah yang berarti”pengendalian. Jadi orang memberikan ta’wil seolah-olah mengendalikan ucapanya dan meletakkan makna menurut yang semestinya.
Sekalipun kata ta’wil ucapkali diartikan sama dengan  tafsir , nama para ulama’ berbeda pendepat dengan  mengenai  hubungan antara kata kedua tersebut :  yaitu apakah keduanya bermakna satu  dan sinonim, ataukah masing-masing mempunyai arti sendiri –sendiri? Sebagaian ulama berpendapat bahwa kedua kata tersebut  mempunyai satu makna.  Ar-Raghib Al- Asfahani berpendapat, tafsir lebih bermakna umum  dibanding ta’wil dan lebih banyak digunakan  untuk menerangkan mufradatnya (kosakatanya) sedangkan kata ta’wil lebih banyak di pergunakan  untuk menerangkan  makna susunan kalimat.
Para ulama  lain berpendapat bahwa tafsir memberik keterangan  tentang arti  lafadz (kata)  yang hanya mengandung satu makna sedangkan kata ta’wil  mengarahkan kata kepada berbagai pengertian dan makna, yang salah satunya dapat menunjukkan pengertian sebagaimana  yang tampak pada susunan kalimat. Ibnu mandzur menulis dalam Al-Lisan : tafsir menjelaskan atau menggungkapkan maksud kata yang sulit, sedangkan ta’wil mengembalikan salah satu dari kedua pengertian atau lebih kepada pengertian yang sesuai dengan maksud susunan kalimat  yang di ta’wilkan.
Sebagaimana kita tah manusia itu bermacam-macam ada yang tergolong awam dan buta huruf, ada pula kelompok khawas atau terpelajar karena itu dapatlah kita paham akan daya jangkau masing-masing pada tingkatan yang tidak sama. Barang kali itu juga sebabnya Ibnu Qutaibah dalam karangannya yang bejudul Al-Massail Wal Ajibah menyatakan bahwa orang-orang arab tidak memilki tingkat pemahan ayat-ayat quran yang mutasibhat (samar maknaya).  Al-Afghani juga mengatakan diantara para pengguni jazirah arab sendiri timbul perbedaan dalam memahami makna Al-Qur’an .[12]
Dalam Al-Qur’an terdapat lafadz-lafdz mutasyabih yang makna- maknanya serupa dengan makna yang kita ketahui di dunia, akan tetapi hakikatnya adalah tidak sama misalnya di akhirat terdapat Mizan (timbangan),  Jannah (taman), dan Nar (api). [13]Ada juga firman Allah yang berbunyiwa imma takhofanna min qowmin khiyanatan fanbits ilaihim ‘ala sawa”. Kata-kata sawa menurut orang-orang arab dimaknai sama, sedangkan menurut Al-Qur’an  dimaknai jujur. Contoh lainya seperti kata zakat yang menurut orang arab berarti membersihkan, sedangkan menurut Al-Qur’an  kata zakat berartikan sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan. Begitu juga pada lafadz Bai’ ( jual beli) menurut orang arab artinya adalah menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lainya, sedangkan menurut Al-Qur’an yaitu menukarkan harta dengan harta yang lain melalui cara tertentu (syarat-syarat akan ditukarkan nanti). [14]
Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Al-Qur’an  memang sangat sulit dipahami maknanya, dan yang tahu makna aslinya sendiri hanyalah Allah SWT.  Arkoun juga berpendapat dalam teorinya semiotik. Yaitu suatu ilmu yang mempelajari “Bahasa”, kode-kode. Arkoun berpendapat bahwa Al-Qur’an  yang bisa disentuh oleh manusia sebenarnya hanya sisi langue dari tuhan. Karna sifatnya yang tidak terbatas dan transenden, manusia tidak mungkin mampu menyentuh parole tuhan. Disamping itu parole tuhan, sebab keunikanya, manusia tidak akan mampu menggapainya. Yang dimaksud parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual dalam pengertian apabila di implementasikan pada Al-Qur’an .  Maka bahasa Al-Qur’an  yang paham makna katanya hanyalah Allah  SWT. Sedangkan langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut.

 PENUTUP
            Kesimpulan

Bahasa Al-Qur’an  merupakan  bahasa yang bersastra yang semua orang tidak mengerti satu-persatu ayat, surat, susunan kalimat untuk memahaminya sendiri. Karna yang bisa mengerti makna asalnya lafadz-lafadz Al-Qur’an  itu sendiri adalah Allah  SWT. Bahasa  Al-Qur’an  juga mempunyai banyak unsur seperti Metaforis, sumpah, dialog, naratif, perumpamaan, mubhamat, pembuka surat, dan  bahasa yang aneh. Kesemuanya itu mengkaji dan mengulas preblomatika kebahasaan Al-Qur’an .  Bahasa Al-Qur’an  juga merupakan sebuah bahasa yang parole dan langue atau bisa dikatakan bahwa makna Al-Qur’an yang tahu hanyalah Allah semata.

DAFTAR PUSTAKA


Quraish, M. Shihab. 2003. Mukjizat al-Quran. Bandung: Penerbit Mizan
Von Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an Pengenalan  Dasar. Jakarta: CV Rajawali.
Arkoun, Mohammed. Lectures du Coran.
Shams, Ahmad Madyan, Lc. MA., 2008. Peta Pembelajaran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pembelajaran.
Asy- Syibasyhi, Muhammad. Sejarah Tafsir Quran: Pustaka Firdaus
Kahlil, Manna’ Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Jakarta : Halim Jaya
Hidayah, abd. Terjemah Fathul Mu’min Juz 2. Surabaya: al-Hidayah


[1] M. Quraish shihab (selanjutnya disebut Shihab), Mukjizat Al-Qur’an (Bandung: penerbit Mizan, 2003), 89.
[2] Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Quran Pengenalan Dasar (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 75.
[3]Shihab, Op.Cit.,  90.
[4]Ibid.
[5] Mohammed Arkoun, Lectures du Coran., hal 38.
[6] M. Quraish shihab, Mukjizat Al-Quran ( Bandung: penerbit Mizan, 2003), 94.
[7] Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran al-Quran (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008), 46.
[8] Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Quran Pengenalan Dasar (Jakarta: CV Rajawali, 1988), 79.
[9] Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 44.
[10] Ibid., 162.
[11] Muhammad Asy-Syibasyhi, Sejarah Tafsir Quran (t.t.: Pustaka Firdaus, t.th.),  4.

[12] Ibid., 41.
[13] Manna’ Kahlil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: Litera Antarnusa “Halim Jaya”), 310.
[14]Abd.hiyadh, terjemah Fathul Mu’in, Juz II (Surabaya: Al-Hidayah, t.th.), 193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar