PERKAWINAN BEDA AGAMA LIDYIA KANDAO
dan JAMAL MIRDAD
A. Kronologi Kasus
Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan actor
Jamal Mirdad. Peristiwa ini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan
agama. Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama islam. Perbedaan agama di
antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai pernikahan,
walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu
secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan : "Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh agama yang
bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil
.
Konsekuensinya, banyak pasangan berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil.
Konsekuensinya, banyak pasangan berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil.
Karena Undang-undang tersebut, bagi
mereka yang akan menikah namun berbeda agama melakukannya secara diam-diam
maupun menikah diluar negeri. Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou
nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian di Pengadilan
Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu menggemparkan. Tentangan dan kecaman dari agamawan
dan masyarakat menghantam secara bertubi-tubi pasangan ini. Ketika mereka
berdua memang pada saat itu sedang berada dipuncak karir, liputan berbagai
media saat itu membuat peristiwa pernikahan beda agama ini semakin heboh.
Tetapi setelah melewati perjuangan panjang dan melelahkan dan didasari cinta
yang kuat diantara keduanya, akhirnya dengan bantuan pengacara, pernikahan
mereka disahkan juga oleh pengadilan pada tahun 1995.
Ibunda Lydia adalah salah seorang
menentang habis-habisan pernikahan Lydia yang saat itu berumur 22 tahun dengan
Jamal. Karenanya sang ibunda pun pindah dari Jakarta ke Bandung. Lydia tahu
bahwa dia menyakiti hati ibunya, maka dua hari sekali Lydia dan Jamal menemui
ibunya. Namun dalam kunjungan-kunjungan itu Jamal selalu menunggu di depan
rumah. Selama kurang lebih setahun, Jamal rela bolak-balik Jakarta-Bandung dan
tidur di mobil, sementara Lydia menginap di rumah sang Ibu. Akhirnya Ibunda
Lydia menjadi luluh juga hatinya. Suatu hari, Lydia hendak menginap di rumah
Ibundanya, dan tanpa disangka, sang Ibu menyuruh Lydia mengajak Jamal masuk ke
dalam rumah. Saat diterima, Jamal pun langsung meminta maaf kepada Ibunda
Lydia.
Agama dan orangtua bukan masalah
satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad ini. Masalah
beda budaya juga merupakan
masalah yang harus dihadapi keduanya. Lydia yang berdarah Manado-Belanda dan
Jamal yang berdarah Jawa membuat
mereka harus melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang
budaya masing-masing. Namun dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat
mereka yang dianggap berharga dan istimewa dan dengan kesabaran dan menghormati
perbedaan, pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai saat ini.
Dari perkawinan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad lahir empat
anak. Mereka adalah Hanna Natasya Maria, Kenang Kana, Nasyila, dan Nathana
Ghaza. Hanna (Nana) Natasya dan Naysila telah mengikuti jejak karier orang
tuanya. Keduanya bermain dalam sinetron produksi Sinemart yang ditayangkan
stasiun televise RCTI berjudul Liontin 2. Tema lagu: Menunggumu
digarap Ariel Peterpen dari album Senyawa yang cerita dan skenarionya
digarap Putri Pranarka dan Alexis Leirissa. Film televisi ini disutradarai oleh
Noto Bagaskara. [1]
B. Konsepsi
Hukum Perkawinan
1. Pengertian
Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa arab adalah nikah. Arti
nikah ada dua, yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan. Arti sebenarnya nikah
ialah”dham”, yang artinya”menghimpit, menindih, atau berkumpul”, sedang arti
kiasan adalah sama dengan “wathi”, yang artinya bersetubuh.
Menurut syara’ nikah itu pada hakikatnya ialah akad
antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai
suami-istri. Akad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi akad nikah artinya
perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan
seorang pria.
Hokum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian
sarjana hokum islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Tetapi berdasarkan
kepada perubahan ‘illahnya, hokum melakukan perkawinan itu dapat beralih
menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram. [2]
Sedangkan dalam kitab undang-undang hokum
perdata(B.W.) Pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja
artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata(B.W.).
2. Syarat-syarat
Perkawinan
A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan
perkaawinan dibagi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.
Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan
inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam,
yaitu:
1. Syarat
meteriil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang
harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnyA. Syarat itu
meliputi:
Ø Monogamy,
bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami(pasal 27)
Ø Persetujuan
antara kedua calon suami istri(pasal 28)
Ø Terpenuhinya
batas umur minimal. Bagi laki-laki minimal umur 18 tahun dan wanita 15
tahun(pasal 29)
Ø Seorang
wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300
hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan(pasal 34)
Ø Harus
ada izin dari orang tuanya dan walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan
belum pernah kawin(pasal 35 sampai dengan pasal 49)
2. Syarat
materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin
dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu:
Ø Larangan
kawin lagi dengan orang yang sangat dekat dalam kekurangan sedarah
Ø Larangan
kawin karena zina
Ø Larangan
kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat
satu tahun
Syarat
formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam
pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:
ü Pemberitahuan
tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin(Pasal 50 sampai Pasal 51)
ü Syarat-syarat
yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkanya pernikahan.
Apabila syarat-syarat diatas sudah dipenuhi, maka
perkawinan itu dapat dilangsungkan. [3]
B. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui
oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang
ditentukan oleh hukum positif
Mengenai perkawinan antar agama apabila kita teliti
pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak
menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan
antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat
menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat
yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama.
Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama ? Menurut hemat penulis,
untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun
1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :
- Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada
masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan
perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau
apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping
tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
- Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan
didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan
lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing
agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap
terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama
tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau
tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri.
Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada
ketentuan agama masing-masing pihak.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar