Rabu, 26 September 2012

Analisis Perkawinan Beda Agama



PERKAWINAN BEDA AGAMA LIDYIA KANDAO dan JAMAL MIRDAD

A.    Kronologi Kasus
Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan actor Jamal Mirdad. Peristiwa ini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan agama. Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama islam. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan : "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh agama yang bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil .
Konsekuensinya, banyak pasangan berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil.
Karena Undang-undang tersebut, bagi mereka yang akan menikah namun berbeda agama melakukannya secara diam-diam maupun menikah diluar negeri. Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian di Pengadilan Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu menggemparkan. Tentangan dan kecaman dari agamawan dan masyarakat menghantam secara bertubi-tubi pasangan ini. Ketika mereka berdua memang pada saat itu sedang berada dipuncak karir, liputan berbagai media saat itu membuat peristiwa pernikahan beda agama ini semakin heboh. Tetapi setelah melewati perjuangan panjang dan melelahkan dan didasari cinta yang kuat diantara keduanya, akhirnya dengan bantuan pengacara, pernikahan mereka disahkan juga oleh pengadilan pada tahun 1995.
Ibunda Lydia adalah salah seorang menentang habis-habisan pernikahan Lydia yang saat itu berumur 22 tahun dengan Jamal. Karenanya sang ibunda pun pindah dari Jakarta ke Bandung. Lydia tahu bahwa dia menyakiti hati ibunya, maka dua hari sekali Lydia dan Jamal menemui ibunya. Namun dalam kunjungan-kunjungan itu Jamal selalu menunggu di depan rumah. Selama kurang lebih setahun, Jamal rela bolak-balik Jakarta-Bandung dan tidur di mobil, sementara Lydia menginap di rumah sang Ibu. Akhirnya Ibunda Lydia menjadi luluh juga hatinya. Suatu hari, Lydia hendak menginap di rumah Ibundanya, dan tanpa disangka, sang Ibu menyuruh Lydia mengajak Jamal masuk ke dalam rumah. Saat diterima, Jamal pun langsung meminta maaf kepada Ibunda Lydia.
Agama dan orangtua bukan masalah satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad ini. Masalah beda budaya juga merupakan masalah yang harus dihadapi keduanya. Lydia yang berdarah Manado-Belanda dan Jamal yang berdarah Jawa membuat mereka harus melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang budaya masing-masing. Namun dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat mereka yang dianggap berharga dan istimewa dan dengan kesabaran dan menghormati perbedaan, pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai saat ini.
        Dari perkawinan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad lahir empat anak. Mereka adalah Hanna Natasya Maria, Kenang Kana, Nasyila, dan Nathana Ghaza. Hanna (Nana) Natasya dan Naysila telah mengikuti jejak karier orang tuanya. Keduanya bermain dalam sinetron produksi Sinemart yang ditayangkan stasiun televise RCTI berjudul Liontin 2. Tema lagu: Menunggumu digarap Ariel Peterpen dari album Senyawa yang cerita dan skenarionya digarap Putri Pranarka dan Alexis Leirissa. Film televisi ini disutradarai oleh Noto Bagaskara. [1]







B.     Konsepsi Hukum Perkawinan
                                                     
1.      Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa arab adalah nikah. Arti nikah ada dua, yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan. Arti sebenarnya nikah ialah”dham”, yang artinya”menghimpit, menindih, atau berkumpul”, sedang arti kiasan adalah sama dengan “wathi”, yang artinya bersetubuh. 
Menurut syara’ nikah itu pada hakikatnya ialah akad antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami-istri. Akad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi akad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria.
Hokum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian sarjana hokum islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Tetapi berdasarkan kepada perubahan ‘illahnya, hokum melakukan perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram. [2]
Sedangkan dalam kitab undang-undang hokum perdata(B.W.) Pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata(B.W.).

2.      Syarat-syarat Perkawinan

A.    Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
 Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkaawinan dibagi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.
Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:
1.      Syarat meteriil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnyA. Syarat itu meliputi:
Ø  Monogamy, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami(pasal 27)
Ø  Persetujuan antara kedua calon suami istri(pasal 28)
Ø  Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki minimal umur 18 tahun dan wanita 15 tahun(pasal 29)
Ø  Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan(pasal 34)
Ø  Harus ada izin dari orang tuanya dan walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin(pasal 35 sampai dengan pasal 49)
2.      Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu:
Ø  Larangan kawin lagi dengan orang yang sangat dekat dalam kekurangan sedarah
Ø  Larangan kawin karena zina
Ø  Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat satu tahun
Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:
ü  Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin(Pasal 50 sampai Pasal 51)
ü  Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkanya pernikahan.
Apabila syarat-syarat diatas sudah dipenuhi, maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.  [3]
B.      Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif
Mengenai perkawinan antar agama apabila  kita teliti pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama.
Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama ? Menurut hemat penulis, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :
  • Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
  • Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak.[4]



[1] http://rmulyadi.blogspot.com/2010/02/lydia-kandou.html
[2] Asmin,1986,”Status Perkawinan Antar Agama”. Jakarta: PT.Dian Rakyat. Hal 28.
[3] Saifullah, 2007 “Buku Ajar Hukum Perdata DI Indonisia” hal.19.                                           
[4] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkawinan-antar-agama/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar