BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan
perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami
istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan
mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta
keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah
tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu
keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian
merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu
agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian
hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Maka sebelum melakukan rujuk
kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu ‘iddah.
‘Iddah ini dibahas guna untuk
memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan
ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkan apakah melangsungkan
pernikahan atau memutuskannya. Dan pada makalah ini akan dibahas tentang
masalah iddah dan permasalahan yang berkaitan dengan iddah itu sendiri serta
rujuk yang akan menjadi pembahasan selanjutnya, yang bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi suami istri yang telah menjatuhkan talak raj’i.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penjelasan surat al-Baqarah
ayat 228?
2. Bagaimanakah analisis lafadhnya?
3. Bagaimanakah asbabul nuzul ayat
tersebut?
4. Bagaimanakah penjelasan katanya?
5. Apa saja kewajiban suami istri selama
masa ‘iddah?
6. Bagaimanakah munasabah ayat surat al-Baqarah ayat 228?
7. Apa saja hukum yang terkandung dalam
ayat tersebut?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui penjelasan surat
al-Baqarah ayat 228.
2. Untuk mengetahui analisis lafad.
3. Untuk mengetahui asbabul nuzul ayat
tersebut.
4. Untuk mengetahui penjelasan kata.
5. Untuk mengetahui apa saja kewajiban
suami istri selama masa ‘iddah.
6. Untuk mengetahui munasabah ayat
tersebut.
7. Untuk mengetahui hukum yang terkandung
dalam ayat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Ayat
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
Artinya : “ wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari kiamat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah: 228).
B. Analisis
Lafad
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Maksudnya
perempuan yang dicerai disini adalah perempuan yang telah dijima’dan tidak
sedang dalam keadaan hamil atau wanita yang putus rutinitas haidhnya, karena
wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disinggung
dalam firman Allah swt:
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا (49)
Artinya:”lalu
kamu menthalak perempuan sebelum kamu menyetubuhinya (bersetubuh dengan dia),
maka tidak ada lagi mereka’iddah.(QS. Al-Ahzab:49)
Dalam firman Allah terkandung Bi
Anfusihinna terkandung isyarat yang menyatakan bahwa wanita yang berada
dalam masa ‘iddah wajib mengekang keinginanya untuk kawin lagi dan menahan
nafsu syahwatnya sampai berakhir masa tersebut.
Para ulama madzab
berbeda pendapat mengenai pengertian quru’. Imam malik dan Syafi’i menggartikan
quru’dengan masa suci, yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada
istrinya pada masa suci maka ‘iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian
disempurnakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi
dan Hambali mengartikan quru’ itu dengan
masa haidh, yang apabila seorang wanita dicerai suaminya dalam keadaan suci,
maka ‘iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa
sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani ‘iddahnya
tiga kali haidh secara penuh.
Kemudian
Allah SWT, menjelaskan hikmah yang terkandung dalam masalah masa menunggu yang
terkait erat dengan hukum lain melalui firman-Nya:
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
Tidak
diperbolehkan bagi kaum wanita menyembunyikan apa yang telah diciptakan oleh
Allah dalam rahim mereka, jika mereka telah merasakan adanya bayi-bayi dalam
perut mereka. Dan jangan pula memperpanjang masa haidh dengan sengaja. Kasus
semacam ini telah banyak terjadi di Mesir pada masa sekarang ini, dimana kaum
wanita yang ditalak telah memperpanjang masa haidh dengan berbagai cara apabila
mereka sulit mendapatkan jodoh kembali. Hal ini mereka lakukan karena pada
Qodhi telah mewajibkan bekas suami-suami mereka menafkahi mereka selama masa
‘iddah. Oleh karena itu, Departemen Kehakiman di Mesir telah menetapkan batas
maksimal masa ‘iddah selama satu tahun Qomariah sebagaimana pendapat yang
dianut oleh Imam Malik ra.
Pada
masa jahiliyah, ada seorang wanita yang melakukan perkawinan beberapa saat
berselang setelah ia ditalak oleh suaminya (masih dalam masa ‘iddah). Tidak
beberapa lama, wanita tersebut mengandung sebagai hasil hubunganya dengan suami
pertama, tetapi anak yang lahir dari wanita tersebut telah
dinasabkan kepada suami yang kedua. Setelah agama islam datang, kebiasaan ini
telah dilarang karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan dengan lahirnya
seorang anak yang tidak berasal dari suami yang baru. Oleh karena itu, islam
memerintahkan mereka agar melakukan ‘iddah setelah berpisah dengan suami mereka
supaya diketahui bahwa rahim mereka telah bersih (tidak mengandung).
إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ
Jika mereka benar-benar beriman kepada Allah
yang telah menetapkan halal dan haram untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan
jika mereka benar-benar beriman kepada hari akhir, dimana setiap orang akan
dibalas sesuai dengan amal perbuatanya- maka janganlah sekali-kali mereka
menyembunyikan apa yang ada pada rahim mereka. Sebab, jika mereka percaya bahwa
dengan mengikuti petunjuk ini akan mendapat pahala dan keridhaan – dan jika mengabaikanya menyebabkan celaka – maka hal ini membutuhkan ketaatan dan keikhlasan dalam
melaksanakan perintah ini. Dan dalam ayat ini jelas terkandung nada ancaman yang keras.
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي
ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Suami dari wanita yang ditalak lebih berhak
mengembalikan dirinya kepadanya pada masa ‘iddah, jika suami tersebut bermaksud
memperbaiki dan menggaulinya kembali dengan baik. Bahwasanya memperbaiki
hubungan suami istri – dengan mengembalikan bekas istri kepangkuan suaminya –
dan hal ini tidak akan bisa terwujud kecuali apabila masing-masing pihak
memenuhi hak-hak yang harus dilaksanakannya – maka Allah menjelaskan secara
ringkas suatu undang-undang yang mengatur hubungan timbal balik antara suami
dengan istri, yaitu adanya persamaan hak antara keduanya dalam segala hal
kecuali satu hal yang akan dijelaskan dalam ayat berikut:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَة
Sesungguhnya pada seorang lelaki (suami) ada hak-hak dan
kewajiban atas istrinya, demikian pula sebaliknya.
Maksudnya ialah, bahwa hak dan
kewajiban atas kedua belah pihak, pengaturanya diserahkan kepada norma-norma,
tata cara dan kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat dalam bermu’amalah.
Yang dimaksud dengan persamaan hak disini ialah bahwa antara keduanya hendaknya
saling memberi dan saling mencukupi.[2]
Disebutkan dalam shahih Muslim, dari
Jabir, bahwa Rosulullah bersabda dalam khutbah beliau ketika haji wada’:
“bertaqwalah kepada
Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian telah menikahi mereka
dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluanya dengan kalimat Allah. Kalian
memiliki hak atas mereka agar mereka tidak mengizinkan seorang pun yang kalian
benci menginjak tikar (rumah) kalian. Jika mereka melakukan hal itu, maka
pukulah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan diwajibkan atas kalian (suami)
untuk memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”.
عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول
الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب
الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي
"Dari Muawiyah
al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "wahai
Rasulullah, apakah hak istri kami?" Beliau menjawab, "memberinya
makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul
wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah".( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa'i)
Waqi’ meriwayatkan
dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia mengatakan:” aku
suka berhias untuk istri sebagaimana aku suka istriku berhias untukku” [3]
Demikianlah pembagian kerja yang
sesuai dengan fitrah masing- masing sebagai suami istri. Dalam hal ini, tidak
ada larangan untuk mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga yang bisa membantu
meringankan pekerjaan keduanya, jika hal ini memang dibutuhkan. Sebagaimana
yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam ayat ini:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
“ dan tolong menolonhlah kamu dalam (mengerjakan)kebajikan dan taqwa,
dan janganlah tolonh menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah..” (QS. Al-Maidah:2) [4]
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kalimat penutup
ayat tersebut menunjukan pada suatu fakta bahwa kebijaksanaan Allah
mengharuskan setiap orang dimasyarakat melaksanakan tugas-tugas yang telah
dipersiapkan oleh hukum penciptaan dan semuanya itu disesuaikan dengan struktur
tubuh dan ruhnya.
C.
Ayat dan Hadis Pendukung
Surat ath-Thalaq: 1
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ
بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS.Ath-Thalaq:1)
Surat ath-Thalaq: 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Artinya:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. (QS.ath-Thalaq: 6)
Hadis yang Mendukung:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّهُ طَلَّقَ
اِمْرَأَتَهُ - وَهِيَ حَائِضٌ - فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ? فَقَالَ
: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا , ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ,
ثُمَّ تَحِيضَ , ثُمَّ تَطْهُرَ , ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ , وَإِنْ
شَاءَ طَلَّقَ بَعْدَ أَنْ يَمَسَّ , فَتِلْكَ اَلْعِدَّةُ اَلَّتِي أَمَرَ
اَللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا اَلنِّسَاءُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya
ketika sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu
Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya
hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia
menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya
sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah
untuk menceraikan istri." Muttafaq
Alaihi.
D. Asbabul Nuzul
Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari
Asma binti Yazid ibnus-Sakan al-Anshariyah, dia berkata,”Saya dicerai pada
zaman Rosulullah dan ketika itu belum ditetapkan ‘iddah untuk para wanita yang
dicerai. Maka turunlah firman Allah,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Ats-Tsa’labi,
Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil meriwayatkan
bahwa pada masa Rosulullah, Ismail bin
Abdullah al-Ghifari mencerai istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa
istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa
istrinya sedang hamil, maka diapun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut
melahirkan, namun anaknya meninggal
dunia. Maka turunlah firman Allah,
[5] وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
E. Penjelasan Kata
اْلمُطَلَّقَاتُ
- al-Mutallaqatu
: maksudnya ialah istri-istri yang ditalak dan diperbolahkan kawin lagi setelah
habis masa menunggu dan sudah pernah mengalami haidh. Sebab haidh merupakan
pertanda bahwa seorang wanita sudah siap untuk dibuahi dan pembuahan inilah
yang menjadi maksud utama dari perkawinan.
التَّرَبُّصْ – at-Tarabbus
: menunggu
الْقُرُوْء – al-Quru’ : bentuk
tunggalnya qur’un dan qar’un. Artinya, terkadang menunjukan makna
haidh dan terkadang diartikan suci. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan qur’un ialah haidh, sedangkan madzhab Syafi’I dan
Imam Maliki mengartikan suci.
وَمَافِى
اَرْحَمِهِنَّ – wa
ma fi arhamihinna: mencakup haidh dan
bayi.
الْبُعْلَةْ – al-bu’lah:
bentuk tunggalnya Ba’lun. Artinya suami.
الدَّرَجَةْ – ad-darajah:
maksudnya ialah sebagaimana dalam ayat berikut ini:
الرِّجَا
لُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
“kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita….”(an-Nisa’:34).[6]
F. Kewajiban Suami-Istri selama ‘Iddah
v Kewajiban suami:
Suami yang mentalak istrinya ia
tetap wajib member belanja dan tempat tinggal istrinya selama massa ‘iddah belum habis. Dengan ketentuan sebagai berikut:
·
Wanita
yang ditalak raj’I berhak menerima belanja dan tempat tinggal,
·
Wanita
yang ditalak ba’in, ia tidak hamil berhak menerima tempat tinggal saja,
·
Wanita
yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak, ia tidak berhak memperoleh
uang belanja maupun tempat tinggal, karena ia berhak mendapatkan warisan.
v Kewajiban Istri
Wanita yang ditalak suaminya wajib
menetap dirumah suami, selama masa ‘iddahnya belum habis, pendapat ini didasarkan pada firman
Allah:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Artinya: janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumahnya dan janganlah(di izinkan) keluar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan kkeji yang jelas. (Q.S. at-Thalaq: 1)[7]
G. Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Dan jika mereka
berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
Maksudnya ketika seorang suami itu
mempunyai niat untuk menthalak istrinya maka Allah mengetahui bahwasanya suami
tersebut mempunyai keinginan untuk menthalak si istri.
nalisis lafad sesudahnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228) الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا
مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا
أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230) وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ
هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ
الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231)
Penjelasan:
Dalam ayat 228 menjelaskan
tentang masalah iddah bagi orang yang tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami
masa haid, kemudian dalam ayat 229 dijelaskan bahwa saat seorang wanita dalam masa iddah tidak
diperbolehkan bagi suami untuk menuntut kewajiban istri terhadap suami kecuali
jika suami telah merujuk istrinya kembali, dalam ayat 230 menjelaskan bagi
seorang suami ketika istri masih dalam keadaan ‘iddah tidak
boleh dirujuk jika memang dikhawatirkan adanya batasan larangan-laranga Allah, Dalam
ayat 231 menyatakan bahwa saat istri dalam keadaan ‘iddah
juga dilarang memperlakukan sang istri dengan perlakuan yang buruk.
H. Hukum-hukum yang Terkandung
Ø Penjelasan mengenai masa ‘iddah untuk
wanita yang ditalak jika ia sedang haidh ialah menunggu selama tiga kali haidh
atau tiga kali suci, maksudnya perempuan yang dicerai disini adalah perempuan
yang telah dijima’dan tidak sedang hamil atau wanita yang telah putus rutinitas
haidnya. Karena wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya.
Sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT:
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Artinya:”lalu kamu menthalaq
perempuan sebelum kamu menyentuhnya(bersetubuh dengan dia), maka tidak ada bagi
mereka ‘iddah.(Al-Ahzab:49)
Sedangkan ‘iddah wanita hamil
adalah melahirkan kandunganya. Sebagaimana firman Allah swt:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya:”perempuan-perempuan
yang hamil, ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan kandunganya”.(Athalaq:
4).
Adapun wanita yang tidak haidh
ataupun wanita yang telah putus haidhnya, mempunyai ‘iddah tiga bulan.
Sebagaimana Allah swt telah berfirman:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ
ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya: “perempuan-perempuan
yang telah putus asa daripada haidh, jika kamu ragu-ragu(tentang ‘iddahnya), maka ‘iddahnya tiga bulan”.(Athalaq:
4)
Dari sini maka jelas bahwa ayat
tersebut mempunyai maksud khusus, yakni bahwa ‘iddah yang dimaksudkan dalam
ayat tersebut yaitu ‘iddahnya wanita yang dicerai yang telah dijima’, manakala
dia bukan anak kecil atau telah putus rutinitas haidhnya.[8]
Ø Apakah ayat itu umum untuk tiap
perempuan yang diceraikan? Firman Allah: وَالمُطَلَّقَاتُ (perempuan-perempuan yang
diceraikan suaminya…/al-Baqarah:228) adalah bersifat umum mencakup thalaq ba’in
dan thalaq raj’i. Sedangkan firman Allah swt: وَبُعُوْلَتُهُنَّ
آّحَقُّ بِرَدِّهِنَّ (suami
mereka lebih patut kembali kepadanya../al-Baqarah:228), adalah khusus
bagi”thalaq raj’I” bukan “thalaq ba’in”. Karena bagi wanita yang berthalaq
ba’in adalah berhak menentukan dirinya sendiri. Ibnu khatsir berkata:” ayat ini
adalah khusus pada thalaq raj’i. Adapun ketika turun ayat ini belum ada
perempuan berthalaq ba’in. “thalaq ba’in” itu hanya ada setelah mereka dibatasi
dengan thalaq tiga. Kondisi turunya ayat ini adalah, bahwa suami berhak kembali
kepada istrinya, walaupun dia telah menthalaqnya seratus kali. Namun setelah
mereka dibatasi dengan thalaq tiga, maka ada orang yang terthalaq ba’in dan ada pula bukan ba’in.[9]
Ø Seorang wanita yang ditalak haram
hukumnya menyembunyikan haidh atau kehamilan yang telah diciptakan Allah di
dalam rahimnya dengan maksud apapun,
Ø Seorang suami lebih berhak untuk merujuk
istrinya yang ditalaknya, jika belum habis masa ‘iddahnya, bahkan dikatakan ia
adalah tetap menjadi istrinya berdasarkan dalil jika ia meninggal, suaminya
tetap mewarisinya dan sebaliknya jika suaminya yang meninggal maka ia pun
mewarisinya. Dan wanita ini tidak halal untuk dilamar atau dinikahi selama ia
dalam masa ‘iddah,
Ø Penetapan hak-hak bagi masing-masing suami-istri atas
pasanganya,
Ø Penetapan kepemimpinan seorang laki-laki
terhadap wanita, karena Allah telah memberikan kepadanya berbagai keistemewaan
yang tidak ditemukan pada wanita,
Ø Tujuan dari adanya ‘iddah adalah untuk
menghilangkan rasa keraguan mengenai kosongnya rahim mantan istri, serta utuk
memudahkan terjadinya rujuk kembali.
Dengan adanya limit waktu tunggu wanita yang dicerai, serta keberadaannya yang
masih tinggal serumah dengan suami, sangat memungkinkan bagi suami akan muncul
kesadaran untuk merujuk kembali.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Islam memperbolehkan thalaq, namun
menyebutnya sebagai sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.
Karena thalaq itu adalah sebagai akibat dari suatu keadaan yang memaksa, dan
dalam masa-masa tertentu ia akan menjadi obat yang akan membendung kehancuran,
yang bukan saja melanda suami istri, tetapi juga melibatkan semua keluarga.
Bahwasanya istri yang telah dithalaq
oleh suaminya karena suatu sebab, maka bagi mereka
wajib menunggu masa ‘iddah, yaitu selama ‘tiga sucian atau tiga haid’ untuk
mengetahui kebersihan rahim sehingga
tidak terjadi campuran keturunan. Dan suami mereka
adalah lebih berhak untuk kembali kepada mereka daripada orang lain, selama
belum habis masa ‘iddahnya, dimana tujuan kambali itu adalah untuk
kemaslahatan, bukan untuk tujuan mambahayakan. Istri punya hak mendapatkan
hubungan dan pelayanan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka juga
punya kewajiban untuk taat dalam sesuatu yang memang diperintahkan oleh Allah
SWT. [11]
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
Abdul. Perkawinan dalam perkawinan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.1996.
Al-Maragi, Ahmad
Mustofa. Terjemah Tafsir al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra. 1993.
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurahman. Shahih Tafsir Ibnu
Katsir. Jilid 1. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. 2007.
As-Suyuti,
Jalaluddin. Sebab Turunya Ayat al-Qur’an. Depok: Gema Insani. 2008.
SMA
Wahid Hasim. Fiqh Munakahat untuk Kalangan Sendiri. Tebuireng: Jombang.
Al-Jazari,
Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Aisar. Jakarta: Darus Sunnah Pres. 2006.
As-Shobani, M.
Ali. Rowai’ul Bayan. Bairut: Maktabah ‘Isriyyah. 2010.
[1] Abdul Rahman, Perkawinan dalam perkawinan Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1996), 120.
[2] Ahmad Mustofa al-Maragi (selanjutnya disebut Mustofa), Terjemah
Tafsir al-Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 283.
[3] Shafiyyurahman
al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Bogor: Pustaka Ibnu
Katsir, 2007), 170.
[4] Mustofa, Op.Cit., 283.
[5] Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunya Ayat al-Qur’an, (Depok:
Gema Insani, 2008), 97.
[6] Mustofa, Op.Cit.,
282.
[7] SMA Wahid Hasim, Fiqh Munakahat untuk Kalangan Sendiri, (Tebuireng,
Jombang), 23.
[8] Muhammad Ali as Shobuni
(selanjutnya disebut ali as shobuni), Rowai’ul Bayan, (Bairut: Maktabah ‘isriyyah, 2010), 57.
[9] Ibid., 64.
[10] Abu Bakar Jabir al-Jazari, Tafsir al-Aisar, (Jakarta:
Darus Sunnah Pres, 2006), 375.
[11] Ali as Shobuni, Op.Cit.,, 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar