Sabtu, 29 September 2012

'IDDAH WANITA TIDAK HAMIL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu ‘iddah.
‘Iddah ini dibahas guna untuk memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkan apakah melangsungkan pernikahan atau memutuskannya. Dan pada makalah ini akan dibahas tentang masalah iddah dan permasalahan yang berkaitan dengan iddah itu sendiri serta rujuk yang akan menjadi pembahasan selanjutnya, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi suami istri yang telah menjatuhkan talak raj’i.[1]




B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah penjelasan surat al-Baqarah ayat 228?
2.      Bagaimanakah analisis lafadhnya?
3.      Bagaimanakah asbabul nuzul ayat tersebut?
4.      Bagaimanakah penjelasan katanya?
5.      Apa saja kewajiban suami istri selama masa ‘iddah?
6.      Bagaimanakah munasabah  ayat surat al-Baqarah ayat 228?
7.      Apa saja hukum yang terkandung dalam ayat tersebut?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui penjelasan surat al-Baqarah ayat 228.
2.      Untuk mengetahui analisis lafad.
3.      Untuk mengetahui asbabul nuzul ayat tersebut.
4.      Untuk mengetahui penjelasan kata.
5.      Untuk mengetahui apa saja kewajiban suami istri selama masa ‘iddah.
6.      Untuk mengetahui munasabah ayat tersebut.
7.      Untuk mengetahui hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penjelasan Ayat
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
                                       
Artinya : “ wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah: 228). 

B.     Analisis  Lafad
 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Maksudnya perempuan yang dicerai disini adalah perempuan yang telah dijima’dan tidak sedang dalam keadaan hamil atau wanita yang putus rutinitas haidhnya, karena wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah swt:
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (49)
Artinya:”lalu kamu menthalak perempuan sebelum kamu menyetubuhinya (bersetubuh dengan dia), maka tidak ada lagi mereka’iddah.(QS. Al-Ahzab:49)
Dalam firman Allah terkandung Bi Anfusihinna terkandung isyarat yang menyatakan bahwa wanita yang berada dalam masa ‘iddah wajib mengekang keinginanya untuk kawin lagi dan menahan nafsu syahwatnya sampai berakhir masa tersebut.
Para ulama madzab berbeda pendapat mengenai pengertian quru’. Imam malik dan Syafi’i menggartikan quru’dengan masa suci, yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci maka ‘iddahnya dihitung sejak masa itu yang kemudian disempurnakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali mengartikan quru’ itu  dengan masa haidh, yang apabila seorang wanita dicerai suaminya dalam keadaan suci, maka ‘iddahnya dihitung sejak pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus menjalani ‘iddahnya tiga kali haidh secara penuh.
Kemudian Allah SWT, menjelaskan hikmah yang terkandung dalam masalah masa menunggu yang terkait erat dengan hukum lain melalui firman-Nya:
 وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ  
Tidak diperbolehkan bagi kaum wanita menyembunyikan apa yang telah diciptakan oleh Allah dalam rahim mereka, jika mereka telah merasakan adanya bayi-bayi dalam perut mereka. Dan jangan pula memperpanjang masa haidh dengan sengaja. Kasus semacam ini telah banyak terjadi di Mesir pada masa sekarang ini, dimana kaum wanita yang ditalak telah memperpanjang masa haidh dengan berbagai cara apabila mereka sulit mendapatkan jodoh kembali. Hal ini mereka lakukan karena pada Qodhi telah mewajibkan bekas suami-suami mereka menafkahi mereka selama masa ‘iddah. Oleh karena itu, Departemen Kehakiman di Mesir telah menetapkan batas maksimal masa ‘iddah selama satu tahun Qomariah sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam Malik ra.
Pada masa jahiliyah, ada seorang wanita yang melakukan perkawinan beberapa saat berselang setelah ia ditalak oleh suaminya (masih dalam masa ‘iddah). Tidak beberapa lama, wanita tersebut mengandung sebagai hasil hubunganya dengan suami pertama, tetapi anak yang lahir dari wanita tersebut telah dinasabkan kepada suami yang kedua. Setelah agama islam datang, kebiasaan ini telah dilarang karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan dengan lahirnya seorang anak yang tidak berasal dari suami yang baru. Oleh karena itu, islam memerintahkan mereka agar melakukan ‘iddah setelah berpisah dengan suami mereka supaya diketahui bahwa rahim mereka telah bersih (tidak mengandung).
إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
     Jika mereka benar-benar beriman kepada Allah yang telah menetapkan halal dan haram untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan jika mereka benar-benar beriman kepada hari akhir, dimana setiap orang akan dibalas sesuai dengan amal perbuatanya- maka janganlah sekali-kali mereka menyembunyikan apa yang ada pada rahim mereka. Sebab, jika mereka percaya bahwa dengan mengikuti petunjuk ini akan mendapat pahala dan keridhaan – dan jika mengabaikanya  menyebabkan celaka – maka hal ini membutuhkan ketaatan dan keikhlasan dalam melaksanakan perintah ini. Dan dalam ayat ini jelas terkandung nada ancaman yang keras.
 وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا  
       Suami dari wanita yang ditalak lebih berhak mengembalikan dirinya kepadanya pada masa ‘iddah, jika suami tersebut bermaksud memperbaiki dan menggaulinya kembali dengan baik. Bahwasanya memperbaiki hubungan suami istri – dengan mengembalikan bekas istri kepangkuan suaminya – dan hal ini tidak akan bisa terwujud kecuali apabila masing-masing pihak memenuhi hak-hak yang harus dilaksanakannya – maka Allah menjelaskan secara ringkas suatu undang-undang yang mengatur hubungan timbal balik antara suami dengan istri, yaitu adanya persamaan hak antara keduanya dalam segala hal kecuali satu hal yang akan dijelaskan dalam ayat berikut:
 وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَة     
Sesungguhnya pada seorang lelaki (suami) ada hak-hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula sebaliknya.
Maksudnya ialah, bahwa hak dan kewajiban atas kedua belah pihak, pengaturanya diserahkan kepada norma-norma, tata cara dan kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat dalam bermu’amalah. Yang dimaksud dengan persamaan hak disini ialah bahwa antara keduanya hendaknya saling memberi dan saling mencukupi.[2] Disebutkan  dalam shahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rosulullah bersabda dalam khutbah beliau ketika haji wada’:
“bertaqwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian telah menikahi mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluanya dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas mereka agar mereka tidak mengizinkan seorang pun yang kalian benci menginjak tikar (rumah) kalian. Jika mereka melakukan hal itu, maka pukulah dengan pukulan yang tidak melukai. Dan diwajibkan atas kalian (suami) untuk memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”.
عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي
     "Dari Muawiyah al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah, "wahai Rasulullah, apakah hak istri kami?" Beliau menjawab, "memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah".( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa'i)
Waqi’ meriwayatkan dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia mengatakan:” aku suka berhias untuk istri sebagaimana aku suka istriku berhias untukku” [3]   
Demikianlah pembagian kerja yang sesuai dengan fitrah masing- masing sebagai suami istri. Dalam hal ini, tidak ada larangan untuk mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga yang bisa membantu meringankan pekerjaan keduanya, jika hal ini memang dibutuhkan. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam ayat ini:
  وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
   “ dan tolong menolonhlah kamu dalam (mengerjakan)kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolonh menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah..” (QS. Al-Maidah:2) [4]
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kalimat penutup ayat tersebut menunjukan pada suatu fakta bahwa kebijaksanaan Allah mengharuskan setiap orang dimasyarakat melaksanakan tugas-tugas yang telah dipersiapkan oleh hukum penciptaan dan semuanya itu disesuaikan dengan struktur tubuh dan ruhnya.

C.    Ayat dan Hadis Pendukung
Surat ath-Thalaq: 1
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS.Ath-Thalaq:1)
Surat  ath-Thalaq: 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (QS.ath-Thalaq: 6)
Hadis yang Mendukung:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ - وَهِيَ حَائِضٌ - فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ? فَقَالَ :  مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا , ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا  حَتَّى تَطْهُرَ , ثُمَّ تَحِيضَ , ثُمَّ تَطْهُرَ , ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ , وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ بَعْدَ أَنْ يَمَسَّ , فَتِلْكَ اَلْعِدَّةُ اَلَّتِي أَمَرَ اَللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا اَلنِّسَاءُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah  untuk menceraikan istri." Muttafaq Alaihi.

D.    Asbabul Nuzul
      Abu  Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnus-Sakan al-Anshariyah, dia berkata,”Saya dicerai pada zaman Rosulullah dan ketika itu belum ditetapkan ‘iddah untuk para wanita yang dicerai. Maka turunlah firman Allah,
  وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
      Ats-Tsa’labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil meriwayatkan bahwa  pada masa Rosulullah, Ismail bin Abdullah al-Ghifari mencerai istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka diapun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya meninggal  dunia. Maka turunlah firman Allah,

 [5]  وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

E.     Penjelasan Kata
اْلمُطَلَّقَاتُ  - al-Mutallaqatu : maksudnya ialah istri-istri yang ditalak dan diperbolahkan kawin lagi setelah habis masa menunggu dan sudah pernah mengalami haidh. Sebab haidh merupakan pertanda bahwa seorang wanita sudah siap untuk dibuahi dan pembuahan inilah yang menjadi maksud utama dari perkawinan.
التَّرَبُّصْ – at-Tarabbus : menunggu
الْقُرُوْء al-Quru’ : bentuk tunggalnya qur’un dan qar’un. Artinya, terkadang menunjukan makna haidh dan terkadang diartikan suci. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qur’un ialah haidh, sedangkan madzhab Syafi’I dan Imam Maliki mengartikan suci.
وَمَافِى اَرْحَمِهِنَّ wa ma fi arhamihinna: mencakup haidh dan bayi.
الْبُعْلَةْal-bu’lah: bentuk tunggalnya Ba’lun. Artinya suami.
الدَّرَجَةْad-darajah: maksudnya ialah sebagaimana dalam ayat berikut ini:
الرِّجَا لُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita….”(an-Nisa’:34).[6]


F.     Kewajiban Suami-Istri selama ‘Iddah
v  Kewajiban suami:
Suami yang mentalak istrinya ia tetap wajib member belanja dan tempat tinggal istrinya selama  massa ‘iddah belum  habis. Dengan ketentuan  sebagai berikut:
·         Wanita yang ditalak raj’I berhak menerima belanja dan tempat tinggal,
·         Wanita yang ditalak ba’in, ia tidak hamil berhak menerima tempat tinggal saja,
·         Wanita yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak, ia tidak berhak memperoleh uang belanja maupun tempat tinggal, karena ia berhak mendapatkan warisan.
v  Kewajiban Istri
Wanita yang ditalak suaminya wajib menetap dirumah suami, selama masa ‘iddahnya belum  habis, pendapat ini didasarkan pada firman Allah:
    لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
        Artinya: janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah(di izinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan kkeji yang jelas. (Q.S. at-Thalaq: 1)[7]





G.    Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:  Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Maksudnya ketika seorang suami itu mempunyai niat untuk menthalak istrinya maka Allah mengetahui bahwasanya suami tersebut mempunyai keinginan untuk menthalak si istri.
nalisis lafad sesudahnya:
  وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228) الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230) وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231)

     Penjelasan:
       Dalam ayat 228 menjelaskan tentang masalah iddah bagi orang yang tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami masa haid, kemudian dalam ayat 229 dijelaskan bahwa  saat seorang wanita dalam masa iddah tidak diperbolehkan bagi suami untuk menuntut kewajiban istri terhadap suami kecuali jika suami telah merujuk istrinya kembali, dalam ayat 230 menjelaskan bagi seorang suami ketika istri masih dalam keadaan iddah tidak boleh dirujuk jika memang dikhawatirkan adanya batasan larangan-laranga Allah, Dalam ayat 231 menyatakan bahwa saat istri dalam keadaan iddah juga dilarang memperlakukan sang istri dengan perlakuan yang buruk.
                                                                                                
H.    Hukum-hukum yang Terkandung
Ø  Penjelasan mengenai masa ‘iddah untuk wanita yang ditalak jika ia sedang haidh ialah menunggu selama tiga kali haidh atau tiga kali suci, maksudnya perempuan yang dicerai disini adalah perempuan yang telah dijima’dan tidak sedang hamil atau wanita yang telah putus rutinitas haidnya. Karena wanita yang belum disetubuhi tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT:
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Artinya:”lalu kamu menthalaq perempuan sebelum kamu menyentuhnya(bersetubuh dengan dia), maka tidak ada bagi mereka ‘iddah.(Al-Ahzab:49)
Sedangkan ‘iddah wanita hamil adalah melahirkan kandunganya. Sebagaimana firman Allah swt:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya:”perempuan-perempuan yang hamil, ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan kandunganya”.(Athalaq: 4).
Adapun wanita yang tidak haidh ataupun wanita yang telah putus haidhnya, mempunyai ‘iddah tiga bulan. Sebagaimana Allah swt telah berfirman:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya: “perempuan-perempuan yang telah putus asa daripada haidh, jika kamu ragu-ragu(tentang  ‘iddahnya), maka ‘iddahnya tiga bulan”.(Athalaq: 4)
Dari sini maka jelas bahwa ayat tersebut mempunyai maksud khusus, yakni bahwa ‘iddah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut yaitu ‘iddahnya wanita yang dicerai yang telah dijima’, manakala dia bukan anak kecil atau telah putus rutinitas haidhnya.[8] 
Ø  Apakah ayat itu umum untuk tiap perempuan yang diceraikan? Firman Allah: وَالمُطَلَّقَاتُ (perempuan-perempuan yang diceraikan suaminya…/al-Baqarah:228) adalah bersifat umum mencakup thalaq ba’in dan thalaq raj’i. Sedangkan firman Allah swt: وَبُعُوْلَتُهُنَّ آّحَقُّ بِرَدِّهِنَّ (suami mereka lebih patut kembali kepadanya../al-Baqarah:228), adalah khusus bagi”thalaq raj’I” bukan “thalaq ba’in”. Karena bagi wanita yang berthalaq ba’in adalah berhak menentukan dirinya sendiri. Ibnu khatsir berkata:” ayat ini adalah khusus pada thalaq raj’i. Adapun ketika turun ayat ini belum ada perempuan berthalaq ba’in. “thalaq ba’in” itu hanya ada setelah mereka dibatasi dengan thalaq tiga. Kondisi turunya ayat ini adalah, bahwa suami berhak kembali kepada istrinya, walaupun dia telah menthalaqnya seratus kali. Namun setelah mereka dibatasi dengan thalaq tiga, maka ada orang yang  terthalaq ba’in dan ada pula bukan ba’in.[9]     
Ø  Seorang wanita yang ditalak haram hukumnya menyembunyikan haidh atau kehamilan yang telah diciptakan Allah di dalam rahimnya dengan maksud apapun,
Ø  Seorang suami lebih berhak untuk merujuk istrinya yang ditalaknya, jika belum habis masa ‘iddahnya, bahkan dikatakan ia adalah tetap menjadi istrinya berdasarkan dalil jika ia meninggal, suaminya tetap mewarisinya dan sebaliknya jika suaminya yang meninggal maka ia pun mewarisinya. Dan wanita ini tidak halal untuk dilamar atau dinikahi selama ia dalam masa ‘iddah,
Ø  Penetapan   hak-hak bagi masing-masing suami-istri atas pasanganya,
Ø  Penetapan kepemimpinan seorang laki-laki terhadap wanita, karena Allah telah memberikan kepadanya berbagai keistemewaan yang tidak  ditemukan pada wanita,
Ø  Tujuan dari adanya ‘iddah adalah untuk menghilangkan rasa keraguan mengenai kosongnya rahim mantan istri, serta utuk memudahkan terjadinya  rujuk kembali. Dengan adanya limit waktu tunggu wanita yang dicerai, serta keberadaannya yang masih tinggal serumah dengan suami, sangat memungkinkan bagi suami akan muncul kesadaran untuk merujuk kembali.[10]   


BAB III
KESIMPULAN
      Islam memperbolehkan thalaq, namun menyebutnya sebagai sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Karena thalaq itu adalah sebagai akibat dari suatu keadaan yang memaksa, dan dalam masa-masa tertentu ia akan menjadi obat yang akan membendung kehancuran, yang bukan saja melanda suami istri, tetapi juga melibatkan semua keluarga.
       Bahwasanya istri yang telah dithalaq oleh suaminya karena suatu sebab, maka bagi mereka wajib menunggu masa ‘iddah, yaitu selama ‘tiga sucian atau tiga haid’ untuk mengetahui kebersihan rahim sehingga tidak terjadi campuran keturunan. Dan suami mereka adalah lebih berhak untuk kembali kepada mereka daripada orang lain, selama belum habis masa ‘iddahnya, dimana tujuan kambali itu adalah untuk kemaslahatan, bukan untuk tujuan mambahayakan. Istri punya hak mendapatkan hubungan dan pelayanan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka juga punya kewajiban untuk taat dalam sesuatu yang memang diperintahkan oleh Allah SWT.  [11]

DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Abdul. Perkawinan dalam perkawinan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.1996.
 Al-Maragi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra. 1993.
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. 2007.
As-Suyuti, Jalaluddin. Sebab Turunya Ayat al-Qur’an. Depok: Gema Insani. 2008.
SMA Wahid Hasim. Fiqh Munakahat untuk Kalangan Sendiri. Tebuireng: Jombang.
Al-Jazari, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Aisar. Jakarta: Darus  Sunnah Pres. 2006.
As-Shobani, M. Ali. Rowai’ul Bayan. Bairut: Maktabah ‘Isriyyah. 2010.


[1] Abdul Rahman, Perkawinan dalam perkawinan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),  120.
[2] Ahmad Mustofa al-Maragi (selanjutnya disebut Mustofa), Terjemah Tafsir al-Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 283.
[3]  Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), 170.
[4] Mustofa,  Op.Cit., 283.
[5] Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunya Ayat al-Qur’an, (Depok: Gema Insani, 2008), 97.
[6] Mustofa,  Op.Cit., 282.

[7] SMA Wahid Hasim, Fiqh Munakahat untuk Kalangan Sendiri, (Tebuireng, Jombang), 23.
[8]  Muhammad Ali as Shobuni (selanjutnya disebut ali as shobuni), Rowai’ul Bayan,  (Bairut: Maktabah ‘isriyyah, 2010), 57.
[9] Ibid., 64.
[10] Abu Bakar Jabir al-Jazari, Tafsir al-Aisar, (Jakarta: Darus  Sunnah Pres, 2006), 375.
[11] Ali as Shobuni, Op.Cit.,, 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar